Saturday 30 August 2014

MAKALAH PROSES PERUBAHAN KURIKULUM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita dapat bertanya dalam arti apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses belajar-mengajar. Kurikulum dapat juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dan sebagai proses untuk mencapainya. Keduanya saling berkaitan.
Kurikulum dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu direvisi secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi dengan murid dalam kelas. Kurikulum dalam   arti ini tak mungkin direncanakan sepenuhnya betapapun rincinya direncanakan, karena dalam interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar kesempatannya menjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apakah penyebab terjadinya perubahan kurikulum?

C.    Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui penyebab proses terjadinya perubahan dan perbaikan kurikulum. 




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Terjadinya Perubahan
Menurut para ahli sosiologi. perubahan terjadi dalam tiga fase, yakni
·             Fase inisiasi, yaitu taraf permulaan ide perubahan itu dilancarkan. Dengan menjelaskan    sifatnya, tujuan, dan luas perubahan yang ingin dicapai;
·             Fase legitimasi, saatnya orang menerima ide itu;
·             Fase kongruensi, saat orang mengadopsinya, menyamakan pendapat sehingga selaras dengan pikiran para pencetus, sehingga tidak terdapat perbedaan nilai lagi antara penerima dan pencetus perubahan.
Untuk mencapai kesamaan pendapat, berbagai cara yang dapat digunakan, misalnya motivasi intrinsik dengan janji kenaikan gaji atau pangkat. memperoleh kredit, dapat juga, paksaan keras atau halus, dengan menggunakan otoritas atau indoktrinasi. Dapat juga dengan membangkitkan motivasi intrinsik dengan menjalankan sikap ramah, akrab, penuh kesabaran dan pengertian, mengajak turut berpatisipasi, mengemukakan perubahan sebagai masalah yang dipecahkan bersama. Perubahan akan lebih berhasil, bila dari pihak guru dirasakan kekurangan dalam keadaan, sehingga timbul hasrat untuk memperbaikinya demi kepentingan bersama. Perubahan yang terjadi atas paksaan dari pihak atasan, biasanya tidak dapat bertahan lama, segera luntur dan hanya diikuti secara formal dan lahiriah. Menjadikan perubahan sebagai masalah, melibatkan semua yang terlibat dalam perumusan masalah. pengumpulan data, menguji alternatif, dan selanjutnya mengambil kesimpulan berdasarkan percobaan, dianggap akan lebih mantap dan meresap dalam hati guru. Akan tetapi karena prosedur ini makan waktu dan tenaga yang banyak, dan selain itu diinginkan perubahan yang uniform di semua sekolah, maka sering dijalankan cara otoriter, indoktrinatif, tanpa mengakui kemampuan guru untuk berpikir sendiri dan hanya diharuskan menerima saja. Cara ini efisien, namun dalam jangka panjang tidak efektif. Dan bila ada perubahan atau perbaikan baru, yang lama ditinggalkan saja tanpa membekas.

B.     Perubahan Kurikulum
Menurut soetopo dan soemanto (1991: 38), pengertian perubahan kurikulum agak sukar untuk dirumuskan dalam suatu devinisi. Suatu kurikulum disebut mengalami perubahan bila terdapat adanya perbedaan dalam satu atau lebih komponen kurikulum antara dua periode tertentu, yang disebabkan oleh adanya usaha yang disengaja.
Kurikulum yang formal mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas dari pada kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil bukan sekedar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas , ruang olahraga, warung sekolah, tempat bermain, karya wisata , dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik , sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum disini berarti mengubah semua yang terlibat didalamnya, yaitu guru sendiri, murid , kepala sekolah, penilik sekolah juga orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Dalam hal ini dikatakan, bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, curriculum change is social change.

C.    Jenis-Jenis Perubahan
Menurut Soetopo dan Soemanto (1991:39-40), Perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian-sebagian , tapi dapat pula bersifat menyeluruh.
1.      Perubahan sebagian-sebagian
Perubahan yang terjadi hanya pada komponen (unsur) tentu saja dari kurikulum kita sebut perubahan yang sebagian-sebagian. Perubahan dalam metode mengajar saja, perubahan dalam itu saja, atau perubahan dalam sistem penilaian saja, adalah merupakan contoh dari perubahan sebagian-sebagian.
Dalam perubahan sebagian-sebagian ini, dapat terjadi bahwa perubahan yang berlangsung pada komponen tertentu sama sekali tidak berpengaruh terhadap komponen yang lain. Sebagai contoh, penambahan satu atau lebih bidang studi kedalam suatu kurikulum dapat saja terjadi tanpa membawa perubahan dalam cara (metode) mengajar atau sistem penilaian dalam kurikulum tersebut.
2.      Perubahan menyeluruh
Disamping secara sebagian-sebagian, perubahan suatu kurikulum dapat saja terjadi secara menyeluruh . artinya keseluruhan sistem dari kurikulum tersebut mengalami perubahan mana tergambar baik didalam tujuannya, isinya organisasi dan strategi dan pelaksanaannya.
Perubahan dari kurikulum1968 menjadi kurikulum 1975 dan 1976 lebih merupakan perubahan kurikulum secara menyeluruh. Demikian pula kegiatan pengembangan kurikulum sekolah pembangunan mencerminkan pula usaha perubahan kurikulum yang bersifat menyeluruh. Kurikulum 1975 dan 1976 misalnya , pengembangan , tujuan, isi, organisasi dan strategi pelaksanaan yang baru dan dalam banyak hal berbeda dari kurikulum sebelumnya.

D.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan kurikulum
Menurut Soetopo dan Soemanto (1991:40-41), ada sejumlah faktor yang dipandang mendorong terjadinya perubahan kurikulum pada berbagai Negara dewasa ini.
Pertama, bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kaum kolonialis. Dengan merdekanya Negara-negara tersebut, mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah dibina dalam suatu sistem pendidikan yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita nasional merdeka. Untuk itu , mereka mulai merencanakan adanya perubahan yang cukup penting di dalam kurikulum dan sistem pendidikan yang ada.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sekali. Di satu pihak , perkembangan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah menghasilkan diketemukannya teori-teori yang lama . Di lain pihak, perkembangan di dalam ilmu pengetahuan psikologi, komunikasi, dan lain-lainnya menimbulkan diketemukannya teori dan cara-cara baru di dalam proses belajar mengajar. Kedua perkembangan di atas , dengan sendirinya mendorong timbulnya perubahan dalam isi maupun strategi pelaksanaan kurikulum.
Ketiga, pertumbuhan yang pesat dari penduduk dunia . dengan bertambahnya penduduk, maka makin bertambah pula jumlah orang yang membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan bahwa cara atau pendekatan yang telah digunakan selama ini dalam pendidikan perlu ditinjau kembali dan kalau perlu diubah agar dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang semakin besar. Ketiga faktor di atas itulah yang secara umum banyak mempengaruhi timbulnya perubahan kurikulum yang kita alami dewasa ini.

E.     Sebab-Sebab Kurikulum Itu Diubah
Misalnya pada tahun 30-an sebagai pengaruh golongan progresif di USA tekanan kurikulum adalah pada anak, sehingga kurikulum mengarah kepada child-centered curriculum sebagai reaksi terhadap subject-centered curriculum yang dianggap terlalu bersifat adult dan society-centered Kurikulum itu selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat berubah secara fundamental, bila suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi Negara yang merdeka. Dengan sendirinya kurikulum pun harus mengalami perubahan yang menyeluruh.
Kurikulum juga diubah bila tekanan dalam tujuan mengalami pergeseran. Pada tahun 40-an , sebagai akibat perang, asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum menjadi lebih society-centered. Pada tahun 50-an dan 60-an, sebagai akibat sputnik yang menyadarkan Amerika Serikat akan ketinggalan dalam ilmu pengetahuan, para pendidik lebih cenderung kepada kurikulum yang discipline-centered, yang mirip kepada subject-centered curriculum. Tampaknya seakan-akan orang kembali lagi kepada titik semula. Akan tetapi, lebih tepat, bila kita katakan, bahwa perkembangan kurikulum seperti spiral, tidak sebagai lingkaran, jadi kita tidak kembali kepada yang lama, tetapi pada suatu titik di atas yang lama.
Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru mengenai proses belajar, sehingga timbul bentuk-bentuk kurikulum seperti activity atau experience curriculum, programmed instruction, pengajaran modul, dan sebagainya.
Perubahan dalam masyarakat, eksplosi ilmu pengetahuan dan lain-lain mengharuskan adanya perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu menyebabkan kurikulum yang berlaku tidak lagi relevan, dan ancaman serupa ini akan senantiasa dihadapi oleh setiap kurikulum , betapapun relevannya pada suatu saat.
Maka karena itu perubahan kurikulum merupakan hal biasa. Malahan mempertahankan kurikulum yang ada akan merugikan anak-anak dan demikian fungsi kurikulum itu sendiri. Biasanya perubahan satu asas akan memerlukan perubahan keseluruhan kurikulum itu.

F.     Kesulitan-Kesulitan Dalam Perubahan Kurikulum
Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaharuan. Ide yang baru tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum dipraktikan secara umum di sekolah-sekolah.
Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif dan guru termasuk golongan itu juga. Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin. Ada kalanya karena cara yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan pembaharuan memerlukan pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang suka bekerja lebih banyak daripada yang diperlukan. Akan tetapi ada pula kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan atau wewenang untuk mengadakan perubahan karena peraturan-peraturan administrative. Guru itu hanya diharapkan mengikuti instruksi atasan.
Pembaharuan kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang mencetuskannya. Dengan meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaharuan yang telah dimulainya itu.
Dalam pembaharuan kurikulum ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru lebih “mudah” daripada menerapkannya dalam praktik. Dan sekalipun telah dilaksanakan sebagai percobaan, masih banyak mengalami rintangan dalam penyebarluasannya, oleh sebab harus melibatkan banyak orang dan mungkin memerlukan perubahan struktur organisasi dan administrasi sistem pendidikan.
Pembaharuan kurikulum sering pula memerlukan biaya yang lebih banyak untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu dapat dipenuhi. Tak jarang pula pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang pada yang sudah lazim dilakukan atau yang kurang percaya akan yang baru sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap pembaharuan kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.
G.    Strategi kepemimpinan Dalam Perubahan Kurikulu
Strategi dimaksud rencana serangkaian usaha untuk mencapai tujuan , dalam hal ini perubahan kurikulum. Untuk mengubah kurikulum dapat diikuti strategi yang berikut :
a.       Mengubah seluruh sistem pendidikan yang hanya dapat dilakukan oleh pusat yakni Depdikbud karena mempunyai wewenang penuh untuk mengadakan perubahan kurikulum secara total. Perubahan ini menyeluruh dan dijalankan secara uniform di seluruh Negara. Usaha besar-besaran ini hanya dapat dikoordinasi oleh pusat dengan memberikan pernyataan kebijaksanaan, petunjuk-petunjuk pelaksanaan dan buku pedoman. Strategi ini sangat ekonomis mengenai waktu dan tenaga bila mengadakan perubahan kurikulum secara uniform dan menyeluruh.
b.      Mengubah kurikulum tingkat lokal
Kurikulum yang nyata, yang riil, hanya terdapat di mana guru dan murid berada, yakni sekolah dan dalam kelas. Di sinilah dihadapi masalah kurikulum yang sesungguhnya . Di sinilah dihadapi masalah kurikulum yang sesungguhnya . Dalam kelas kurikulum menjadi hidup, bukan hanya secarik kertas. Dalam menghadapi anak, mau tak mau setiap guru akan menghadapi masalah yang harus diatasinya. Dalam pelaksanaan kurikulum dalam kelas terhadap murid yang berbeda-beda, tak dapat tiada guru harus mengadakan penyesuaian. Bagaimanapun ketatnya perincian kurikulum , guru selalu mendapat kesempatan untuk mencobakan pikirannya sendiri. Pedoman kurikulum hanya dapat dijiwai oleh guru dan pribadi guru terjalin erat dengan cara ia melaksanakan kurikulum itu. Kelaslah yang menjadi garis depan perubahan dan perbaikan kurikulum.
Dibawah pimpinan kepala sekolah dapat diadakan rapat seluruh staf, atau setiap tingkatan atau bidang studi. Rapat-rapat mengenai perbaikan kurikulum sebaiknya dilakukan secara kontinu oleh sebab tujuannya tidak diperoleh sekaligus. Perbaikan sesungguhnya akan terjadi bila guru sendiri menyadari kekurangannya, ada kalanya atas pemikirannya sendiri, atau interaksinya dengan siswa dan dalam diskusi dengan teman guru lainnya. Usaha perbaikan yang dijalankan oleh guru-guru memerlukan kordinasi kepala sekolah.
Perubahan kurikulum di sekolah tidak berarti bahwa sekolah itu menyendiri dan melepaskan diri dari kurikulum resmi. Sekolah itu tetap bergerak dalam rangka kurikulum resmi yang berlaku akan tetapi berusaha untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan anak dan lingkungannya serta berusaha untuk meningkatkannya. Ada menyebutnya “kurikulum plus”. Kurikulum resmi hanya memberikan kurikulum minimal yang diharapkan harus dicapai oleh segenap siswa di seluruh Indonesia. Sama sekali tidak dilarang memberi bahan yang lebih mendalam dan luas bagi anak-anak yang berbakat. Adanya perbedaan antara apa yang diajarkan disuatu sekolah tidak perlu mempersulit anak pindah sekolah, selama sekolah itu mengajarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip atau struktur ilmu, sedangkan isinya secara detail tidak esensial.
c.       Memberikan pendidikan in-service dan pengembangan staf.
Dianggap bahwa kurikulum sekolah akan mengalami perbaikan jika mutu guru ditingkatkan. In-service training dianggap lebih formal , dengan rencana yang lebih ketat dan diselenggarakan atas instruksi pihak atasan. Pengembangan staf atau staff development lebih tak formal, lebih bebas disesuaikan dengan kebutuhan guru. Guru misalnya dapat disuruh mengobservasi dan menilai dirinya mengajar yang telah divideo-tape. Apa yang dipelajari dalam inservice dan pengembangan staf hendaknya dipraktikkan.
d.      Supervisi
Dahulu penilik sekolah mengunjungi sekolah untuk mengadakan inspeksi dan memberi penilaian terhadap guru dan sekolah. Kedatangannya dipandang sebagai hari mendung penuh rasa takut yang dihadapi guru dengan segala macam tipu muslihat. Kini pengertian supervisi sudah berubah. Tujuannya ialah membantu guru mengadakan perbaikan dalam pengajaran. Supervisi adalah member pelayanan kepada guru untuk memperoleh proses belajar-mengajar yang lebih efektif. Bila dirasa perlu penilik sekolah dapat memberikan demonstrasi bagaimana melaksanakan suatu metode baru. Seorang penilik sekolah harus senantiasa mempelajari perkembangan kurikulum dan metode mengajar modern dan dapat pula menerapkannya. Ialah sebenarnya hulubalang dalam modernisasi pendidikan.
e.       Reorganisasi sekolah
Reorganisasi diadakan bila sekolah itu ingin merombak seluruh cara mendidik di sekolah itu dengan menerima cara yang baru sama sekali. Hal ini antara lain dapat terjadi bila sekolah itu akan menjalankan misalnya team teaching , non-grading , metode unit, open school, dan lain-lain yang memerlukan perubahan dalam semua aspek pengajaran, seperti bentuk ruangan, fasilitas , penjadwalan , tugas guru, kegiatan siswa , administrasi, dan sebagainya. Hal serupa ini akan jarang terdapat di negara kita dewasa ini , kecuali bila diadakan eksperimen dengan metode baru, misalnya pengajaran modul.
f.       Eksperimentasi dan penelitian
Negara kita tidak tertutup bagi macam-macam pembaruan dalam pendidikan. Kemajuan komunokasi dan transport membuka pendidikan kita bagi berbagai pengaruh di bagian lain dunia ini. Cirri kemajuan ialah perubahan dan perbaikan, juga dalam bidang pendidikan di sekolah. Penelitian atau research pendidikan belum cukup dilakukan di Negara kita ini. Biasanya penelitian tidak langsung dapat ditetapkan dan melalui fase yang lama sebelum diterima secara umum.

H.    Proses Perbaikan Kurikulum
Seperti telah dikemukakan, kurikulum bermacam-macam tafsirannya. Pada satu pihak, kurikulum dipandang sebagai buku pedoman dan wewenang untuk mengembangkannya ialah pusat, kementerian Depdikbud. Yang dihasilkan ialah suatu kurikulum nasional yang menentukan garis - garis besar apa yang harus diajarkan kepada murid - murid. Di pihak lain, kurikulum dapat ditafsirkan sebagai segala sesuatu yang terjadi dalam kelas dan sekolah yang mempengaruhi perubahan kelakuan para siswa dengan berpedoman pada kurikulum yang ditentukan oleh Pemerintah. Dalam arti terakhir ini, perbaikan kurikulum terutama tergantung pada guru. Dialah menentukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam kelasnya. Dalam posisi itu boleh dikatakan ialah pengembang kurikulum, dan ada tidaknya perbaikan pengajaran dalam kelasnya bergantung pada ada tidaknya usaha guru.
Tak semua guru sadar akan peranannya sebagai pengembang kurikulum, karena ia memandang dirinya sekadar sebagai pelaksana kurikulum, yang berusaha jangan menyimpang sedikitpun dari ketentuan dari atasan. Apa yang ditentukan oleh atasan sebenarnya masih jauh dari lengkap. Yang diberikan terutama garis - garis besarnya, dan kalaupun dirincikan mustahil meliputi kegiatan guru dan siswa sampai hal yang sekecil-kecilnya. Kurikulum sekolah kita, menentukan hanya sampai tujuan instruksional umum (TIU). Yang merumuskan TIK-nya ialah guru. Bahan pelajaran juga hanya pokok - pokoknya, masih banyak yang harus dilengkapi guru. Demikian pula metode yang dianjurkan sangat terbatas dan tidak spesifik. Banyak lagi kesempatan bagi guru untuk secara kreatif memilih dari sejumlah besar metode, strategi, atau model mengajar yang tersedia. Penilaian formatif dan sumatif untuk pelajaran yang diajarkan guru, sepenuhnya dalam tangan guru. la tidak terikat pada test tertulis, akan tetapi dapat menjalankan penilaian yang lebih komprehensif yang meliputi aspek emosional, moral, sosial, sikap dan aspek afektif lainnya. la dapat menilai kemampuan kognitif pada tingkat mental yang jauh lebih tinggi daripada yang dapat diukur dengan Ujian Nasional. Dialah yang dapat menilai aspek - aspek kepribadian anak. Ialah yang berada dalam posisi strategis untuk mengenai perkembangan anak, fisik, mental, etis, estetis, sosilal, dan lain-lain.
Pada umumnya guru kita masih belum menyadari peranannya sebagai pengembang kurikulum. Kurikulum kita uniform di samping usaha untuk sedapat mungkin mengatur apa yang harus dilakukan oleh guru sampai yang sekecil - kecilnya. Meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan. Pertama, menyusun paket pelajaran sedemikian rupa sehingga guru hanya berperan untuk mengatur distribusi bahan itu menurut kecepatan anak. Pelajaran itu dapat berupa modul atau pelajaran berprogram. Pendekatan kedua ialah meningkatkan mutu guru sehingga mampu menjalankan bahkan memperbaikinya bila ada kelemahannya. Pendekatan pertama sangat mahal selain banyak kekurangannya. Pendekatan kedua memerlukan guru yang profesional, berkompetensi tinggi, guru yang berjiwa dinamis dan terbuka bagi pembaharuan. Pendekatan ini pun tak mudah dijalankan karena menuntut kualitas guru yang tinggi yang masih belum terpenuhi pada saat ini.
Kurikulum yang uniform dapat menjadi alasan bagi guru untuk menjauhi inisiatif perbaikan dan hanya menunggu instruksi dari pihak atasan. Sebaliknya atasan yang tidak merangsang guru untuk bersifat dinamis dan memberi kesempatan serta dorongan untuk mencobakan perbaikan atas pemikiran sendiri dan tidak turut serta dalam usaha perbaikan dan penyesuaian dengan keadaan setempat cenderung mematikan kreativitas guru.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kurikulum yang riil, bukan sekadar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olah raga, warung sekolah, tempat bermain, karyawisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum di sini berarti mengubah semua yang terlibat di dalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah, juga orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Dalam hal ini dikatakan bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, curriculum change is social change.
Dalam perjalanannya dunia Pendidikan Indonesia telah menerapkan enam kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 atau  Kurikulum Berbasis Kompetensi (meski belum sempat disahkan pemerintah, tetapi sempat berlaku di beberapa sekolah piloting project), dan terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan pemerintah melalui Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Nomor 23 tentang Standar Komnpetensi Lulusan, dan Permen Nomor 24 tentang Pelaksanaan kedua Permen tersebut. Ada rumor yang berkembang dalam masyarakat bahwa ada kesan “Ganti Menteri Pendidikan Ganti Kurikulum.” Kesan itu bisa benar bisa tidak, tergantung dari sudut mana kita memandang. Kalau sudut pandangnya politis, maka pergantian sistem pendidikan nasional, termasuk di dalamnya perubahan kurikulum akan selalu dikaitkan dengan kekuasaan (siapa yang berkuasa). Namun, kalau sudut pandangnya nonpolitis, pergantian kurikulum merupakan suatu hal yang biasa dan suatu keniscayaan dalam rangka merespons perkembangan masyarakat khususnya dunia pendidikan yang begitu cepat.








DAFTAR PUSTAKA

Nasution. 2009. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Soetopo dan Soemanto. 1991. Pembinaan Dan Pengembangan Kurikulum Sebagai Substansi        Problem Administrasi Pendidikan . Jakarta: Bumi Aksara.

Soemantri, Hermana. 1993. Perekayasaan Kurikulum. Bandung: Angkasa.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Depdiknas. 2005.


MAKALAH FARIASI BAHASA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasa pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri – ciri vaiasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri –ciri variasi bahasa tersebut  dengan ciri – ciri sosial kemasyarakatan.
Kemudian dengan mengutip pendapat  Fishman (1971:4) Kridalaksanan mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi, serta hubungan diantara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat baasa.
Bahasa merupakan ujaran yang bermakna dan mempunyai bunyi. Sebagai sebuah lengue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yung dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu.
Dalam pembicaraan mengenai variasi bahasa kita berbicara tentang satu bahasa yang memilikiberbagai fariasi berkenaan dengan penutur dan penggunaannya secara konkret. Pembicaraan tentang variasi bahasa itu tidak lengkap bila tidak disertai dengan pembicaraan tentang jenis bahasa itu tidak lengkap secara sosiolinguistik.
1.2  Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Bagaimakah ciri –ciri variasi bahasa dan jenis bahasanya ?
b.      Apakah fungsi dari berbagai variasi bahasa dan jenis bahasa ?

1.3  Tujuan
Secara umum penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana variasi dan jenis – jenis bahasa.
Secara khusus penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

a.       Untuk mengetahui bagaimana ciri – ciri dari variasi bahasa dan jenis bahasanya.
b.      Untuk mengetahui fungsi dari berbagai variasi bahasa dan jenis bahasa.



1.4  Manfaat
Penulisan makalah diharapkan bermanfaat :
a.    Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang berbagai macam ciri – ciri dari variasi bahasa dan jenis bahasanya.
b.    Sebagai literatur bagi para pembaca khususnya mahasiswa jurusan bahasa dan sastra indonesia.

1.5  Metode
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode yang bersifat deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk memusatkan diri pada pembahasan dan pemecahan masalah yang ada pada saat sekarang secara aktual dengan jalan mengumpulkan dan menganalisis data secara objektif.











BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Variasi Bahasa
            Dalam hal variasi atau ragam bahas ini ada dua panadangan. Pertama, varaiasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsunya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak.
            Hartman dan Strok ( 1972 ) membedakan variasi berdasarkan kriteria, sebagai berikut : (a) latar belakang geografi dan sosial penetur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Variasi bahasa itu pertama-tama kita bedakan berdasarkan penutur dan penggunaannya. Berdasarkan penutur berarti, siapa yang mengunakan bahasa itu, dimana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya didalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu digunakan. Berdasarkan pengguanannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya, dan bagaiman situasi ke formalannya.

2.1.1 Variasi dari Segi Penutur
            Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahas yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bermanfaat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setipa orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing.
            Variasi bahasa kedua berdasarkan peneturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karaena dialek ini didasarkan pada wilayah atau tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga. Dalam kasus bahasa jawa dialek banten dan bahasa jawa dialek cirebon , sebenarnya kedua bahasa itu sudah berdiri sendiri-sendiri, sebagai bahasa yang bukan lagi bahasa jawa. Tetapi karena secara historis keduanya adalah berasal dari bahasa jawa, maka keduanya juga dapat dianggap sebagai dialek-dialek dari bahasa jawa.
            Penggunaan istilah dialek dan bahasa dalam masyarakat umum memang sering kali bersifaf ambigu. Secara linguistik jika masyarakat tutur  masih saling mengerti, maka alat komunikasinya dadalah dua dialek dari bahasa yang sama. Namun sejarah politis meskipun dua masyarakat tutur bisa saling mengerti karena kedua alat komunikasi verbalnya mempunyai kesamaan sistem dan subsistem, tetapi keduanya dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Contohnya, bahasa indonesia dan bahasa malaysia, yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, tetapi secara politis dianggap sebuah bahasa yang berbeda.
            Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek  atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunkan tahun lima puluhan, dan variasai yang digunakan pada masa kini. Variasai bahasa pada ketiga jaman itu tentunya berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis.
Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni baraiasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Berdasarkan usia, kita bisa melihat perbadaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa, dan orang-orang yang tergolong lansia ( lanjut usia ). Berdasarkan pendidikan kita juga bisa melihat adanya variasi sosial ini. Para penutur yang beruntung memperoleh pendidikan tinggi, akan berbeda variasi bahasanya dengan mereka hanya berpendidikan menengah, rendah, atau yang tidak berpendidkan sama sekali. Perbedaan ini yang paling jelas adalah dalam bidang kosa kata, pelafalan, dan juga morfologi dan sintaksis.
Perbedaan pekerjaan, pofesi jabatan, atau tugas para penutur, dapat juga menyebabkan adanmya variasi sosial. Didalam masyarakat tutur yang (masih) mengenal tingkat-tingkat kebangsawan dapat pula kita lihat variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat-tingkat kebangsawan itu. Bahasa jawa, bahasa bali, dan bahasa sunda mengenal variasi kebangsaan ini tetapi behasa indonesia tidak.
Keadaan sosial ekonomi para penutur dapat juga menyebabkan adanya variasi bahasa. Pembedaan kelom[ok masayarakat berdasarkan status sosial ekonomi ini tidak sama dengan perbedaan berdasarkan tingkat kebangsawanan, sebab dalam zaman modern ini pemerolehn status sosial ekonomi yuang tinggi tidak lagi identik dengan status kebangsawanan yang tinggi.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken.

2.1.2 Variasi dari Segi Pemakaian
            Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa iti digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosa kata.
Variasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim disebut register. Dalam pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, dimana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa.

2.1.3 Variasi dari Segi Keformalan
Berdasartkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya(inggris Style),yaitu gaya ragam beku(frozem),gaya atau ragam resmi(formal),gaya atau ragam usaha(konsultatif),gaya atau ragam santai(casual),dan gaya atau ragam akram(intemate)dalam pembicaraan selanjutnya kita sebuah saja ragam.
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal,yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat,dan upacara-upacara resmi misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah di mesjid, tata cara pengambalian sumpah;kitab undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan.
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dal;am pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-mnyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Ragam usaha atau ragam kasual adalah variasi bahsa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi.
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat,berolahraga, berekreasi, dan sebagainya.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, atau antar teman  yang sudah karib.

2.1.4 Variasi dari Segi Sarana
            Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan.Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memilioki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secra lisan, kita dibantu unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak – gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala – gejala fisik lainnya. Padahal didalam ragam bahasa tulis hal –hal yang diseutkan it tidak ada. Lalu, sebagai gantinya harus dieksplisitkan secara verbal.


2.2 Jenis Bahasa
            Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik tidak sama dengan pennjenisan (klasifikasi) bahasa secara geneologis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klafikasi secara geneologis dan tipologis berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa-bahasa itu sedangkan penjenisan sercara sosiolinguistik berkenaan dengan faktor-faktor eksternal atau bahasa-bahasa itu yakni faktor sosiologis, politis, kultural.

2.2.1 Jenis Bahasa Berdasarkan Sosiologis
            Penjenisan bedasarkan faktor sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga bedasarkan faktor sejarahnya,kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi berikutnya.
            Stewart(dalam Fishman (ed) 1968) mengunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu (1) standardisasi, (2) otonimi, (3) historisitas, dan (4) vitalitas.
Standardisasi atau pembakuan adala adanya modifikasi dan peneriman terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar” (bandingkan Fishman (ed) 1968:534).
Dasar kedua dalam penjenisan sosiologis ini adalah otonomi atau keotonomian sebuah sistem liguistik itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain (Fishman 1968:535)
Dasar ketiga dalam penjenisan sosiologi bahasa adalah faktor historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu (Fishman 1968:535)
Dasar keempat dalam penjenisan bahasa secara sosiologis adalah faktor vitalitas atau keterpakaian. Menurut Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian sistem linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi, unsur vitalitas ini mempersoalkan apakh sistem linguistik tersebut memiliki penutur asli yang masih menggunakan atau tidak.



2.2.2 Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
            Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Perbedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan kepentingan kebangsaan.
            Sebuah sistem linguistik disebut sebagai bahasa nasional, sering kali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan ) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Pengangkatan sebuah sistem linguistik menjadi bahasa nasional adalah berkat sikap dan pemikiran politik, yaitu agar dikenal sebagai sebuah bangsa (dengan negara berdaulat dan berpemerintahan sendiri) berbeda dengan bangsa lainnya.
            Yang dimaksud dengan bahasa negara adalah suatu sistem linguistik yang secara resmi dalam undang-undang dasar sebuah negara di tetapkan sebagai alat komukasi resmi sebuah kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegaraan, dan kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu. Pemilihan dan penetapan sebuah sistem linguistik menjadi bahasa negara biasanya dikaitan dengan kerterpakaian bahasa itu yang sudah merata diseluruh wilayah negara itu.
            Yang dimaksud dengan bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik yang di tetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan, seperti seminar, konferensi, rapat, dan sebagainya. Dalam sidang internasional di PBB bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol, bahasa Cina, dan bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi persidangan. Jadi artinya seorang pembicara dalam sidang PBB itu boleh menggunakan salah satu kelima bahasa itu. Untuk menyampaikan pidato atau sambutannya. Dalam konteks sosial di I ndonesia, bahasa negara dapat diidentikkan sama dengan bahasa resmi, yaitu bahasa indonesia.
            Pengangkatan satu sistem linguistik  sebagai bahasa persatuan adalah dilakukan oleh suatu bangsa dalam kerangka perjuangan, dimna bangsa yang berjuang itu merupakan masyarakat yang multilingual. Kebutuhan akan adanya sebuah bahasa persatuan adalah untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan sebagai satu kesatuan bangsa.

2.2.3 Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan
            Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa oertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), Dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak. Bahasa ibu tidak mengacui pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu, melainkan mengacu kepada bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya.
            Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena baasa itu lah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua (disingkat B2). Andai kata kemudian sianak mempelajari bahasa lainya lagi, maka bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga (disingkat B3).
            Yang disebut bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Disamping itu penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa lain. Maka itu bahasa Malaysia, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Cina adalah bahasa asing bagi bangsa indonesia. Sebuah bahasa asing, bahasa yang bukan milik suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) dapat menjadi bahasa kedua.

2.2.4 Lingua Franca
            Yang dimaksud dengan lingua franca adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda. Dulu bahasa latin di Eropa adalah sebuah lingua franca bagi suku-suku bangsa yang ad diwilayah nusantara.
            Pemilihan satu sistem linguistik menjadi sebuah lingua franca adalah berdasarkan adanya kesaling pahaman diantara sesama mereka. Karena dasar pemilihan lingua franca adalah keterpahaman atau kesaling pengertian dario para partisipan yang menggunakannya, maka “bahasa” apapun, baik sebuah langue, pijin, maupun kreol, dapat menjadi sebuah lingua franca itu.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasa diatas dapat pula kita ambil kesimpulan bahwa variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsunya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak.
Dapat juga disimpulkan bahawa yang disebut dengan jenis bahasa itu meryupakan macam – macam bahasa yaitu Penjenisan bedasarkan faktor sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga bedasarkan faktor sejarahnya,kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi berikutnya. Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Perbedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan kepentingan kebangsaan. Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa oertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), Dan bahasa asing. Lingua franca adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda.








DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. Dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : PT Rineka Cipta.