Saturday 31 October 2015

PANDANGAN ISLAM TERHADAP SIKAP KRITIS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Lantar Belakang
Pandangan Islam terhadap islam adalah konsep yang dimiliki seseorang yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia,Islam ialah kata jadian Arab,Asalnya dari kata jadian juga: aslama,Akar katanya ialah salima, berarti: sejahtera, tidak tercela, tidak bercacat,Dari kata itu terjadi kata masdar: salamat (dalam bahasa Malaysia/Indonesia menjadi selamat),seterusnya salm dan silm,Salam dan silm berarti: kedamaian,kesejahteraan,kepatuhan penyerahan diri kepada Tuhan,Kata salam dijumpai dalam ucapan assalaamu’alaikum, sejahterahlah atas kamu. Orang Islam bila bertemu antara sesamanya tidak mengucapkan selamat pagi atau selamat malam, melainkan mendo’akan salam atau kesejahteraan orang yang dijumpainya itu. Sejahtera berarti: aman dan makmur, senang dan tentram, terpelihara dalam bencana, kesusahan, gangguan dan lain-lain. Dengan demikian kata itu mengandung pengertian keselamatan dan kesenangan, yang jadi naluri asasi manusia.
Manusia adalah individu yang terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain (materi) yang membentuk jasad. Manusia, dalam pandangan Islam, adalah makhluk yang memiliki identitas istimewa. Ia bukan malaikat, tetapi juga bukan setan. Ia dapat terjatuh sehingga berkualitas seperti setan. Ia, dengan keluhuran rohaniannya, juga dapat mencapai kualitas kemalaikatan. Dalam spektrumnya yang alami, yang merupakan tarikan antara setan dan malaikat, ia mengandung sifat antara kebaikan dan kejahatan, yang mungkin saja tidak asing bagi sifatnya atau tidak berasal dari luar.Di antara hal yang memuliakan dan melebihkan manusia adalah bahwa Allah telah memberikan kepadanya kemampuan untuk belajar dan berpengetahuan, serta membekalinya dengan segala peralatan kemampuan.
Tugas paling luhur manusia ialah beribadah kepada Allah. Inti seluruh tanggung jawab ini adalah tanggung jawab manusia terhadap ibadah kepada Allah dan pentauhidan-Nya; yakni memurnikan ibadah hanya kepada Allah Semata.

RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian manusia ?
2.    Apa pengertian manusia secara Islam ?
3.    Bagaimana pandangan Islam terhadap manusia ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan Islam Terhadap Manusia
Manusia senantiasa keliru dalam memahami dirinya. Kadangkala ia cenderung untuk bersikap superior, sehingga memandang dirinya sebagai makhluk yang paling besar dan agung di alam ini. Bahkan superioritas  ini diserukannya dengan penuh keakuan, kecongkakan dan kesombongan.
Kadangkala pula dia cenderung untuk bersikap imferior, sehingga memandang dirinya sebagai makhluk yang paling hina dan rendah di dunia ini. Karena itu dia bersujud kepada pohon, batu, sungai, gunung atau binatang. Menurut keyakinannya, keselamatan hanya kan diperoleh jika dia bersujud kepada matahari, bulan, bintang, api dan makhluk-makhluk lain yang dipandangnya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk memberikan bahaya atau manfaat kepadanya.
Islam telah menjelaskan hakikat dan asal diri manusia, keistimwaan dan kelebihannya, tugasnya di dalam hidup, hubungannya dengan alam, serta kesiapannya untuk menerima kebaikan dan keburukan.
Hakikat dan asal diri manusia berpangkal pada dua asal: asal yang jauh, yaitu kejadian pertama dari tanah, ketika Allah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan ruh ciptaan-Nya kepadanya; dan asal yang dekat, yaitu kejadian kedua dari nuthfah.
Di antara hal yang memuliakan dan melebihkan manusia adalah bahwa Allah telah meberikan kepadanya kemampuan untuk belajar dan berpengetahuan, serta membekalinya dengan segala peralatan kemampuan ini.
Tugas paling luhur manusia ialah beribadah kepada Allah. Inti seluruh tanggung jawab ini adalah tanggung jawab manusia terhadap ibadah kepada Allah dan pentauhidan-Nya; yakni memurnikan ibadah hanya kepada Allah Semata.

B.  Pandangan Islam Terhadap Kedudukan Manusia
Manusia mempunyai kedudukan ganda di alam semesta yang materil ini. Sebagai jasad ia adalah bagian dari dan berada di dalam alam semesta, tetapi sebagai ruh ia berada di atas atau di luar alam semesta. Dan karena kedudukannya yang istimewa inilah manusia dipilih sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini.
Peranan manusia sebagai “klhalifatullah fil ardh” ini dijelaskan oleh Qur’an suci sebagai berikut:
“Dan Dia-lah yang telah membuatmu menjadi khalifah di muka bumi dan telah mengangkat sebagian dari kamu di atas yang lain guna mengujimu dengan sesuatu yang telah diberikan pada kamu sekalian ”. (Q.S, al-An’am, 6: 165).
Tetapi, lepas dari kekuasaannya sebagai khalifah, manusia juga mempunyai kewajiban-kewajiban khusus kekhalifahan. Seperti seorang duta yang wajib mencerminkan sifat-sifat mulia bangsa, yang mengangkatnya sebagai duta dalam setiap perbuatannya, maka manusia sebagai wakil Tuhan di muka bum wajib mencerminkan sifat-sifat mulia di dalam setiap perbuatan dan ciptaannya. Demikian pula sebagai seperti seorang duta yang harus tetap tunduk hukum-hukum bangsa yang memberinya kekuasaan sebagai wakil bangsa di samping is harus tunduk pada hukum-hukum negara tempat ia bertugas, maka manusia pun harus tunduk pada hukum-hukum spiritual Ilahi di samping harus tunduk pada hukum-hukum alam materil.
Walaupun manusia adalah khalifah Tuhan, hal ini tidaklah boleh menimbulkan kesombongan di hati manusia, karena sebenarnya manusia tetaplah merupakan hamba atau abdi-Nya sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam ayat suci yang berbunyi:
“Tidaklah Ku-jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi Aku”. (Q.S. al-Dzariyat, 51: 56)

C.   Pandangan Islam Terhadap Keyakinan Manusia
Keyakinan tentang manusia itu makhluk yang termulia dari segenap makhluk dan wujud lain yang ada di alam jagat ini. Allah karuniakan keutamakan yang membedakannya dari makhluk lain. Allah membekali manusia dengan beberapa ciri tertentu yang akan terangkan kelak kebahagiannya. Dengan karunia itu manusia berhak mendapat penghormatan dari makhluk-makhluk lain. Peri manusia di cipta dari segumpal darah atau dari tanah atau dari mani berubah menjadi segumpal darah. Ayat yang menjelaskan tentang kejadian manusia umumnya adalah dalam kontek memberi penghormatan atau supaya diambil i’tibar dari kejadian itu. Antaranya ada yang melukiskan tentang kekuasaan Allah untuk membangkit atau menghidupkan kembali insan itu dari kuburnya maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia ciptakan.
Keutamaan lebih diberikan kepada manusia dari makhluk lain,Manusia dilantik menjadi khalifah dibumi untuk memakmurkannya. Untuk itu dibebankan kepada manusia amanah attaklif. Diberikan pula kebebasan dan tanggung jawab memliki serta memelihara nilai-nilai keutamaan. Keutamaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, bukan juga karena warna, kecantikan, perawatan, harta, derjat, jenis profesi dan kasta sosial atau ekonominya. Tetapi semata-mata karena imam, takwa, akhlak, ketinggian akal, dan amalnya. Karena manusia sanggup memikul tanggung jawab terhadap diri dan masyarakat,Karena ia dapat menggunakan pengetahuan serta kepandaian. Pendek kata manusia diberikan status demikian itu karena ciri dan sifat utama yang di karuniakan Allah kepadanya, Ciri-ciri itu tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lain. Sebab itu, layaklah manusia diberi karunia dan keutamaan dari Allah. Memang banyak karunia yang diberikan kepada manusia karena manusia mempunyai motivasi,kecenderungan dan kebutuhan permulaan baik yang diwarisi dan diperoleh dalam proses sosialisasi yaitu yang diperoleh ketika berinteraksi dengan element lingkungan yang bersifat benda, manusia atau kebudayaan.

D.  Pandangan Islam Dan Manusia
Manusia dalam pandangan Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri. Dalam Al-Qur’an, manusia berulang-kali diangkat derajatnya, berulang-kali pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan para malaikat; tetapi, pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah”. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri.
Manusia adalah khalifah Tuhan di Bumi. Dibandingkan dengan semua makhluk yang lain, manusia mempunyai kapasitas inteligensia yang paling tinggi. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Kesimpulannya, manusia adalah suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi, yang didalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit, dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka, dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Akhirnya, mereka dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada saat yang sama, mereka harus menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.

E.  Pandangan Islam Terhadap Khilafah
Manusia pemegang mandat “Khilafah”. Doktrin al-Qur’an menetapkan, bahwa manusialah satu-satunya makhluk yang diberi mandat oleh Allah untuk mengelola dan mendayagunakan sumber daya dan kekayaan alam. Mandat yang disebut sebagai “Khalifah Allah di bumi”. Manusia memperoleh semacam hak konsesi untuk eksplorasi (penjelajahan untuk mencari sumber kekayaan alam), eksploitasi (pengambilan kekayaan dan sumbernya) serta pemanfaatan kekayaan tersebut dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kualitas hidupnya sebagai makhluk budaya. Tetapi disisi lain, manusia bertanggung jawab kepada Allah dalam menggunakan hak atau mandat tersebut.
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi, dan Dia yang mengangkat beberapa derajat sebagian diantaramu melebihi yang lain, untuk mengujimu tentang apa yang telah diberikan-Nya padamu”.
Referensi al-Qur’an memberi petunjuk kepada manusia agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai “Khalifah Allah di bumi” dengan efektif melakukan beberapa kegiatan eksekutif yang elementer, seperti penaklukkan sumber daya alam (at-tashkir). Sampai dengan masanya turun al-Qur’an, masih banyak manusia yang menyembah kekuatan alam, baik dalam bentuk animisme dan fetisisme. Al-Qur’an memberikan konsep yang radikal untuk mengubah pandangan dan sikap manusia terhadap alam, yakni alam semesta ini bukan merupakan kekuatan yang disembah dan dipertuhankan, melainkan perlu dijinakkan dan dikendalikan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia, dan dipakai untuk mengembangkan tingkat peradaban manusia.
Dengan demikian maka perintah “meneliti dan observasi” tidak terbats untuk “mengetahui sesuatu”, tapi dilanjutkan dengan tahap eksplorasi, eksploitasi dan pendayagunaannya untuk keperluan kesejahteraan dan peradaban/civilisasi umat manusia.

F. Pandangan Al-Qur’an Terhadap Manusia
Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk moral, yang mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta memiliki kebebasan untuk memilih ke duanya. Tidak ada petunjuk pasti tentag kebaikan dan keburukan yang melekat pada diri manusia- al-Qur’an memperingatkan akan adanya manusia yang berdo’a (memohon) bagi kejahatan (syarr) dan juga memohon bagi kebaikan (khair). Apabila manusia telah dilengkapi dengan kemampuan untuk menilai baik dan buruk, dan membedakan antara yang benar dan yang salah, tanpa bantua wahyu Ilahi, maka lembaga kerasulan jelas akan kehilangan kegunaannya. Dengan ringkas al-Qur’an menyebut kemampuan manusia untuk menjadi baik atau buruk, sebagaimana dinyatakan-Nya seperti berikut ini.
“Demi sukma dan penyempurnaannya (Allah) mengilhami (sukma) kejahatan dan kebaikan. Sungguh, bahagialah siapa yang menyucikannya, dan rugilah siapa yang mencemarkannya”. (Al-Qur’an: 91: 7-10).
Manusia, dalam pandangan Islam, adalah makhluk yang memiliki identitas istimewa. Ia bukan malaikat, tetapi juga bukan setan. Ia dapat terjatuh sehingga berkualitas seperti setan. Ia, dengan keluhuran rohaniannya, juga dapat mencapai kualitas kemalaikatan. Dalam spektrumnya yang alami, yang merupakan tarikan antara setan dan malaikat, ia mengandung sifat antara kebaikan dan kejahatan, yang mungkin saja tidak asing bagi sifatnya atau tidak berasal dari luar.
Konsep manusia dalam Islam mengandung sifat “ganda”, yang menyatakan bahwa manusia terbantuk dari tanah liat dan roh suci dari Tuhan. Cukup dinyatakan bahwa manusia  memiliki potensi untuk berbuat baik, dan juga untuk berbuat buruk; yang mau menerima tuntunan (Ilahi) tetapi juga dapat menjadi pembangkang; kemampuan untuk berbuat baik atau jahat. Maka menurut ajaran Islam, hanyalah manusia yang merupakan makhluk yang dapat bertanggung jawab. Manusialah yang harus mewujudkan misi Tuhan di dunia dan sekaligus menjadi kepercayaannya.


G.  Pandangan Manusia Terhadap Allah
Allah telah meninggikan atau mengangkat martabat manusia sebagai individu dengan dilarang-Nya manusia menyembah selain-Nya, seperti berhala dan lain-lain yang disembah oleh bangsa Arab yang mereka percaya bahwa berhala-berhala itu berperan sebagai penghubung atau pendekat mereka kepada Allah.
Allah telah melimpahkan kemuliaan yang sempurna bagi manusia dengan menghilangkan kekuasaan para pendeta dan tokoh-tokoh agama, sehingga tidak ada lagi perantara atau pemberi syafa’at antara Allah dengan manusia. Jadi, tidak ada pendeta atau rahib yang memberi ampun bagi insan yang berdosa.
Al-Qur’an menggariskan bahwa tidak ada perantara atau pemberi syafa’at antara Allah dengan manusia. Tidak ada seorang pun selain Allah yang memiliki atau dapat memberi manfaat dan mudharat. Hanya amal shaleh yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Seseorang mukmin diukur kedudukannya di sisi Allah dengan amal dan takwanya.
Setelah al-Qur’an membebaskan manusia dari menyembah berhala dari pengaruh pendeta dan rahib dengan mnghilangkan wibawa atau kekuasaannya, dan hanya mengakui kekuasaan akal sehat dan pemikiran yang benar yang dapat mengenal baik dan buruk, maka adalah logis jika manusia diharuskan bertanggung jawab atas semua perbuatannya, dan hanya ia sendiri yang memikiul akibat dari amal-perbuatannya.
Manusia dalam pandangan Islam, merupakan khalifah Allah yang bertugas menjalankan kehidupan dengan dasar-dasar yang luhur dan cara-cara mencapainya dengan berlandaskan pada: iman kepada Allah, sumber segala kebaikan, keadilan, amanah dan kesetiaan, toleransi dan memberi maaf antara sesama manusia dalam hak dan kewajiban serta menghormati dan memuliakan manusia untuk hidup bahagia dan sejahtera di atas bumi ini.

H. Pandangan Manusia Terhadap individu
Manusia adalah individu yang terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain (materi) yang membentuk jasad.
Sejak semula, salah satu prinsip dalam Islam adalah menjunjung tinggi martabat manusia, dan menempatkannya dalam status supremasi diantara makhluk Tuhan lainnya. Referensi konseptual dalam masalah ini cukup meyakinkan, seperti tertera dalam ayat-ayat al-Qur’an:
Sungguh kami muliakan anak keturunan Adam (manusia)”. (Q.S. Al-Isra’: 70)
Masih banyak lagi dalil al-Qur’an yang memberi acuan tentang manusia. Dalam fiqih Islam ditetapkan, bahwa masing-masing individu memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dilindungi. Hak-hak individu itu bebas dilakukan selama tidak menimbulkan kerugian atau mengganggu hak-hak orang atau masyarakat lainnya. Ada sebuah kaidah umum yang berlaku: La dlarara wala dlirar (tidak merugikan dan tidak dirugikan). Untuk menjaga agar tidak terjadi salah pemakaian hak-hak tersebut, maka syari’ah Islam menetapkan tatanan hukum yang mengatur hubungan antar individu, maupun antara individu dengan kelompoknya, maka lahirlah yang dikenal dengan hukum mu’amalat, hukum jinayat, dan lain-lain, Apabila hak-hak tersebut diterapkan menurut system syara’, maka dampaknya akan merusak dan menimbulkan disentegrasi sosial. Maka larangan-larangan Allah adalah merupakan batas kemerdekaan manusiawi secara umum. Dengan demikian maka kebebasan dalam menggunakan hak-hak asasi manusia dalam Islam, dikaitkan dengan tanggung jawab sosial (al-maslahah al-mursalah). Dasar umum dari prinsip ini adalah bahwa manusia tetap dalam kemerdekaan individunya selama tidak bertubrukan dengan kemaslahatan umum, dan peraturan hukum tidak mencampuri urusannya, selama tidak terjadi benturan atau tubrukan tersebut.

I.  Pandangan Manusia Terhadap Seseorang
Manusia itu seorang persona, tetapi dalam pada itu masih harus dipersonisasikan. Artinya harus berevolusi untuk mencapai kepersonaannya. Kepersonaannya masih harus diisi, dilaksanakan dan disempurnakan. Martabat sebagai persona atau pribadi itu masih harus diperkembangkan, sehingga menjadi kenyataan yang sepenuh-penuhnya.
Salah satu sifat dasar manusia lainnya ialah: hasrat untuk berkomunikasi; yaitu untuk berhubungan, berdialog dan bersatu dengan pribadi lain. Karena itu disebut sebagai makhluk sosial. Termasuk pula keinginan menjalin komunikasi dengan Pribadi Yang Maha Sempurna (Tuhan). Sebab dalam usahanya mengembangkan dan mengaitkan pribadinya, orang menyadari kelemahan, keterbatasan dan ketidaksempurnaannya. Dia belajar mengenali diri sendiri sebagai makhluk yang serba kurang dan tidak lengkap. Karena kesadaran inilah timbul hasrat untuk menyerahkan diri kepada belas-kasih Ilahi, atau kepada “Toi Absolu” (dikau yang maha absolut). Jadi, dia belajar langsung pada Tuhan.
Maka kemanunggalan diri manusia dengan Gusti Allah (manunggaling kawula Gusti) itu menjadi tujuan final dari eksistensi manusia yangotentik, dan menjadi tujuan dari pendidikan religious. Dalam piwulang (ajaran) Jawa, bersatunya manusia dengan Hakekat Kosmos/Tuhan itu dilambangkan dengan “wiji ana sajroning uwit, uwit ana sajroning wiji” (benih ada dalam pohon, pohon ada dalam benih). Jadi ada kelululah diri/benih sebagai “kawula” atau hamba dengan Dzat Yang Maha Sempurna,Maka keyakinan akan kasih Tuhan itu memberikan kekuatan dan stabilitas pada manusia; juga melimpahkan energi dan daya tahan terhadap segala mala dan duka derita; selanjutnya menjamin rasa aman bahagia. Untuk bisa sampai pada tingkat sedemikian, tidak habis-habisnya manusia mendidik diri/mesu diri, dalam pengertian “ngulah raga, nyipta karsa, sarta ngrogoh suksma (melatih bada, mecipta karsa/kemauan, dan mengulik sukma).

J.  Pandangan Manusia Terhadap Maklhuk
Manusia adalah maklhuk terhormat pembawa amanah. Tuhan sudah mengambil keputusan mengangkat manusia sebagai makhluk terhormat melebihi makhluk-makhluk lainnya, berarti Allah telah menjadikan Bani Adam sebagai makhluk yang berbudaya. Dan manusia sendiri secara riskan siap memikul amanah (tugas-tugas), dimana langit, bumi dan gunungpun terasa berat memikulnya. Manusia telah dibekali perangkat yang memungkinkan untuk memikulnya, dan perangkat potensi yang tidak dimiliki makhluk lain, antara lain potensi berfikir kreatif yang mampu bernalar secara kully dan juz’iy, suatu kemampuan yang tidak dapat ditandingi oleh malaikatpun, karena para malaikat hanya mampu berfikir secara kully saja.
Manusia memiliki keistimewaan perangkat potensi, sehingga dia menjadi “makhluk terhormat” itu, terutama yang berwujud: An-Nafs (jiwa atau pribadi), Al-Qalb (hati nurani), Ar-Ruh (ruh atau nyawa), dan Al-Aql (pikiran atau nalar).
Islam memerintahkan kepada manusia agar selalu memperhatikan pengembangan yang menyangkut eksistensi manusia secara harmonis dan serasi.
Dalam usaha menyiapkan dirinya dan mengembangkan potensinya agar sampai pada kedudukan sebagai “pembawa amanah” yang berhasil, tidak dapat bekerja sendiri tanpa memanfaatkan bimbingan Tuhan, mencari hidayah-Nya, menggapai rahmat-Nya, memegang teguh fitrah yang diberikannya, baik “fitrah mukhallaqoh” (fitrah yang dibekalkan manusia sejak diciptakan) maupun “firah munazzalah” (doktrin kehidupan yang diberikan oleh Allah sebagai acuan bagi manusia dalam menyusuri perjalanan hidupnya yang peuh tantangan). Didalam konteks inilah al-Qur’an dengan tegas menyatakan, bahwa peranan Tuhan merupakan sesuatu yang mutlak harus disadari dan diperhatikan oleh manusia. Jika kesadaran kepada Allah, keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya memberikan arti dan tujuan kepada kehidupan.


KESIMPULAN
Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi, Oleh karena itu, manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataannya, telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan, dan hawa nafsu.
Al-Qur’an dan as-Sunnah selalu meminta agar manusia mengisi hidupnya dengan bekerja untuk mempertahankan kehidupanya, yaitu dengan memanfaatkan apa yang telah Allah ciptakan baginya di muka bumi ini. Dari pandangan Islam, hanya pekerjaan yang baik serta amal saleh sajalah yang mendapatkan pahala. Sedangkan tindakan yang buruk, jahat, harus dihindari oleh setiap pribadi muslim. Al-Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang berisi pujian Allah terhadap pekerjaan yang “baik” (amal saleh), dan tersedianya ganjaran baik di dunia ataupun di akhirat bagi mereka yang bekerja dengan dilandasi iman.
Manusia adalah makhluk cerdas yang dapat memanfaatkan bakat serta kecerdasannya untuk mengembangkan kehidupannya di atas muka bumi, dan membuatnya lebih sejahtera. Islam mendorong (pemeluknya untuk melakukan) inovasi di dalam segala lapangan teknologi. Tetapi Islam juga melarang inovasi yang dilakukan dalam masalah agama dan kerohanian.
Tuhan menciptakan manusia agar mereka menyembah-Nya; dan tunduk patuh kepada-Nya. Walaupun manusia adalah khalifah Tuhan, hal ini tidak boleh menimbulkan kesombongan di hati manusia, karena sebenarnya tugas manusia yang terpenting adalah mengabdi kepada-Nya dan menjadi wakil-Nya yang baik di muka bumi.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Buraey, Muhammad, A., 1985, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, Jakarta: CV Rajawali.
An-Nahlawi, Abdurrahman, 1996, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam Dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, Bandung: CV Diponegoro.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2003, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit Lantabora Press.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta: Penerbit Lantabora Press.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Penerbit Lantabora Press.
Kartono, Kartini, 1992, Pengantar Ilmu Pendidik Teoritis, Bandung: Penerbit CV Mandar Maju.
Mahzar, Armahedi, 1993, Islam Masa Depan, Bandung: Penerbit Pustaka.
Musa, Yusuf, 1988, Al-Qur’an dan Filsafat, Jakarta: PT Bulan Bintang.

Muthahhari, Murtadha, 1992, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama, Bandung: Penerbit Mizan.