BAB I
PENAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu isu yang
berhubungan dengan privatisasi secara makro telah banyak dibahas, namun masih
terbatas yang membahas isu-isu privatisasi secara mikro yang berkaitan dengan
strategi keuangan untuk meningkatkan kinerja.
Pro dan
kontra mengenai peran dan kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN ) menjadi
wacana diskusi di berbagai pihak. Satu pihak menyatakan bahwa peran dan fungsi
BUMN cenderung tidak efisien dalam mengelola sumberdaya, dan kurang efektif
kinerjanya, sehingga kelompok ini berpendapat bahwa BUMN lebih baik
diprivatisasi, agar lebih mampu memperbaiki kinerjanya di waktu mendatang.
Namun kelompok ini menyadari bahwa kebanyakan BUMN pada saat ini belum memiliki
daya jual yang optimal dan daya tarik terhadap pihak luar yang akan membelinya.
Sehingga,sebelum diprivatisasi kinerja BUMN harus diperbaiki dulu. Pihak lain
meragukan keberhasilan privatisasi BUMN, mengingat bahwa dengan privatisasi,
penyelenggaraan fungsi sosial BUMN dalam memenuhi kepentingan umum dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat menjadi terabaikan, sehingga kebijakan privatisasi ini
akan mengarah pada system, perkonomian kapitalis –liberal.
Untuk
meningkatkan kinerja BUMN , dalam arti mampu menjalankan fungsinya sebagai
badan usaha yang menghasilkan laba dan sekaligus menyumbang pada peningkatan
kesejahteraan umum , berbagai langkah telah ditempuh antara lain melakukan
profitisasi, restrukturisasi, dan privatisasi. Restrukturisasi BUMN berkenaan
dengan tatanan makro, yaitu perihal kebijakan politik BUMN, dan berkenaan
dengan tatanan mikro, yaitu tentang strategi penataan ulang korporasi BUMN.
Selanjutnya profitisasi adalah peningkatan laba atau profitisasi adalah sebagai
langkah lanjut dari restrukturisasi. Sedangkan Privatisasi berkenaan dengan upaya
untuk mengurangi peran negara yang berlebihan di sektor bisnis, khususnya dalam
rangka menggerakkan dan memberdayakan perekonomian masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam
pembahasan ini penulis tentang membahas tentang :
1.
Landasan BUMN
2. Visi
dan Misi BUMN
3. Permasalahan
di Kementrian BUMN
4. Daya
Saing BUMN
5. Permasalahan
di Kementrian BUMN
6. Pembinaan
dan Pengembangan BUMN
BAB II
PENATAAN BUMN
2.1 Landasan BUMN
Berdasarkan pasal 33 UUD 1945,
perekonomian Indonesia tersusun atas 3 pilar utama yaitu :
1) Koperasi,
2)
Badan
Usaha Milik Negara atau BUMN dan
3)
Swasta.
Yang termasuk pilar “Koperasi” adalah perekonomian yang disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sementara yang tergolong sebagai pilar
“BUMN” adalah meliputi a) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat orang banyak dikuasai oleh negara, serta b) bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun yang tergolong pilar
“Swasta” adalah perkonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
Perusahaan Negara telah lama dikenal di Indonesia sejak sebelum proklamasi
kemerdekaan. Pada masa pemerintahan Belanda terdapat perusahaan Kereta Api,
Timah, Pegadaian dan lainnya. Setelah proklamasi kemerdekaan beberapa BUMN di
dirikan oleh pemerintah . Pada waktu perjuangan pengembalian Irian Barat pada
tahun 1957, pemerintah “menasionalisasi” beberapa perusahaan milik Belanda.
Jumlah perusahaan negara menjadi
semakin meningkat karena pada akhir tahun 1950-an Presiden Soekarno, dalam
konsep ekonomi terpimpin di mana Perusahaan Negara sebagai sarana utama untuk
meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Pengertian yang
sering digunakan yang dimaksud Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan
[Pasal 1 Angka 1.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang BUMN, hanya dikenal 2 bentuk BUMN yaitu Perusahaan Perseroan
(Persero) dan Perusahaan Umum (Perum) [Pasal 9]. Sementara itu BUMN didirikan
dengan maksud dan tujuan [Pasal 2 ayat (1)] :
a.
memberikan
sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan
negara pada khususnya;
b.
mengejar
keuntungan
c.
menyelenggarakan
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
d.
menjadi
perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor
swasta dan koperasi;
e.
turut
aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi, dan masyarakat.
2.2 Visi dan Misi BUMN
Berdasarkan Master plan BUMN tahun 2002 -2006 ditegaskan bahwa ada tiga
fungsi dari Kementrian Negara BUMN : Pertama, perumusan kebijakan pemerintah di
bidang pembinaan BUMN yang meliputi kegiatan pengendalian, peningkatan
efisiensi, restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Kedua, pengkoordinasian dan
peningkatan keterpaduan penyusunan, analisis dan evaluasi di bidang pembinaan
BUMN. Dan, ketiga, penyampaian laporan hasil, saran dan pertimbangan di bidang
tugas serta fungsinya kepada Presiden.
Berkaitan dengan pembinaan BUMN, visi yang dikembangkan adalah menjadikan
BUMN sebagai pelaku utama (champion) yang kompetitif di industrinya. Adapun
misi BUMN adalah sebagai berikut :
1. Reformasi BUMN sesuai dengan amanat
Konstitusi dan Perundang-Undangan yang berlaku
2.
Memfokuskan
restrukturisasi BUMN secara Sektoral & Korporasi (Organisasi, Legal,
a.
Operasional,
& Financial)
3.
Mencari
synergi antar BUMN dan memperbaiki Private-Public Partnership untuk
b.
meningkatkan
nilai
4.
Memaksimalkan
nilai perusahaan melalui peningkatan efisiensi & produktifitas BUMN
5. Peningkatan daya saing BUMN di dalam
dan luar negeri
Sebagai suatu organisasi, misi BUMN memang ideal sekali. Namun demikian, di
lapangan, beberapa misi tersebut seringkali kurang berjalan selaras. Bahkan di
dalam mengantisipasi tantangan pasar global tidak tertutup kemungkinan timbul
berbagai kerancuan visi dan persepsi sehingga akhirnya menyulitkan penentuan
langkah-langkah strategis BUMN secara efektif dan efisien.
Pada dasarnya BUMN memang rentan lantaran berbagai misi yang diembannya,
sehingga wajar jika sering terjadi konflik kepentingan antar stakeholder.
Tuntutan pemerintah terhadap keberadaan BUMN sebagai agent of development serta
misi lain terkadang mengurangi fokus perhatian BUMN sebagai business entity
yang harus mengejar target keuangan. Sebaliknya bisa menjadi peluang terjadinya
penyimpangan yang bernuansa KKN. Diharapkan jajaraan manajemen dapat
menjabarkan misi tersebut, sehingga tidak akan terjadi perbenturan kepentingan.
Walaupun masing-masing BUMN punya permasalahan yang spesifik, akan tetapi pada
umumnya jajaran manajemen BUMN memiliki tantangan yang sama, yaitu belum
terpadunya
persepsi atau visi masing-masing pimpinan terhadap misi dan sasaran perusahaan.
Dari sudut perencanaan organisasi, seringkali tampak bahwa desain
organisasi perusahaan terbentuk dalam struktur yang berlapis-lapis dan cenderung
bersifat hirarkis. Dari sisi lain, penyusunan organisasi di BUMN terkesan
kurang didasarkan pada hasil analisis tugas serta perilaku organisasi melainkan
lebih mengesankan kebijakan sektorat. Akibat dari kondisi di atas adalah
semakin kaburnya tugas dan tanggung jawab dari masing masing unit kerja
sehingga dapat menimbulkan kesan organisasi perusahaan yang kurang tertib.
Sementara itu mengingat bahwa organisasi BUMN pada umumnya heterogen, maka
tentunya diperlukan suatu corporate strategy yang transparan sehingga
perencanaan dan penyusunan organisasi tidak akan menyimpang dari sasaran
perusahaan. Seiiring dengan tuntutan dunia global yang sarat persaingan, maka
seluruh jajaran manajemen BUMN semakin dituntut profesional. Untuk menguji
profesionalisme dan optimal kinerja jajaran manajemen BUMN secara keseluruhan,
maka selain membuat parameter yang jelas dari misi yang diemban BUMN,
setidaknya perlu dipertimbangkan, adanya peningkatan professionalisme dan
otonomi kepada jajaran manajemen BUMN.
Tentu saja, tidak mudah mengoptimalkan kinerja BUMN, karena diperlukan
kesiapan-kesiapan. Untuk itu dirancang reformasi BUMN dengan visi yang di bawa
adalah bagaimana membangun BUMN yang berdaya saing dan berkelas global.
Pembangunan BUMN merupakan bagian dari pembangunan ekonomi nasional. BUMN
Indonesia mengemban misi yang amat strategis dalam pembangunan nasional. Kita
dituntut untuk mampu memberikan kontribusi optimal bagi pembangunan
perekonomian nasional, diantaranya melalui deviden dan pajak. Konsep strategis
BUMN disusun atas dasar program strategis pembangunan ekonomi Pemerintah
Indonesia. Sebagaimana dikemukakan Sugiarto (2002) bahwa program strategis
Pemerintah Indonesia dipaparkan sebagai berikut :
a)
Di
bidang pertanian adalah
(1)
Peningkatan produksi beras dua juta ton, dan
(2)
Revitalisasi sawit, karet, coklat, dan jagung
b)
Di
bidang pertahanan adalah peningkatan industry strategis nasional di bidang pertahanan.
c)
Di
bidang energy dan sumber daya mineral adalah
(1)
Peningkatan produksi migas
(2)
Pembangunan PLTU 10.000 MW, dan
(3)
Pengurangan subsidi BBM dengan teknologi dan investasi
d)
Di
bidang industry adalah
(1)
Peningkatan kinerja industry dalam negeri,
(2)
Pembangunan industry listrik skala menengah 2.000 MW/tahun
e)
Di
bidang tenaga kerja dan transmigrasi adalah penataan masalah perburuhan yang kondusif
melalui system asuransi
f)
Di
bidang pekerjaan umum adalah
(1)
Pembangunan jalan tol Trans Jawa
(2)
Pembangunan jalan-jalan di luar Jawa, dan
(3)Pembangunan
prasarana pengairan skala menengah
g)
Di
bidang perhubungan adalah penyelesaian pembagunan bandara, pelabuhan, dan jaringan
kereta api yang vital
h)
Di
bidang kelautan dan perikanan adalah peningkatan produksi perikanan sebesar 20%
i)
Di
bidang perumahan rakyat adalah pembangunan rumah susun 1.000 unit tower dalam 5
tahun
j)
Di
bidang perdagangan adalah peningkatan ekspor 20% per tahun
k)
Di
bidang kebudayaan dan pariwisata adalah peningkatan wisatawan mancanegara menjadi
7 juta per tahun
l)
Di
bidang penertiban aparatur Negara adalah Peningkatan peringkat Indonesia dalam “Doing Bussiness”
m)
Di
bidang BUMN adalah
(a)
Peningkatan kinerja BUMN dan
(b) Divestasi
BUMN kecil dan tidak strategis
n)
Di
bidang koperasi dan UMKM adalah Peningkatan kredit perbankan untuk UKM melalui
sistem jaminan untuk kredit kecil
2.3 Permasalahan di Kementrian BUMN
Permasalahan di BUMN dewasa ini memang sangat complicated sehingga jajaran manajemen
seringkali mengalami “disorientasi permasalahan”. Banyak yang menyoroti
permasalahan yang ada di tubuh Kementrian BUMN, yang selama ini menjadi objek
perbincangan di seminar. Menneg BUMN diharapkan bisa mencerminkan kriteria sebagai
the best CEO for the firm, dan seluruh jajaran manajemen BUMN tentunya juga
dituntut hal yang sama. Selain perlu memahami teori ekonomi makro dan mikro,
juga harus memiliki pengalaman dan wawasan luas di sektor finansial serta pasar
modal sebagai fondasi dalam mengelola operasi perusahaan.
Selama ini, bentuk organisasi Kementerian BUMN telah berubah beberapa kali
misalnya dari (Ditjen PBUMN => Kementerian Negara BUMN => Ditjen BUMN
=> Kementerian Negara BUMN). Perubahan bentuk organisasi ini dilakukan
sebagai akibat perubahan dari kebijakan pemerintahan. Dampak dari perubahan
bentuk organisasi yang terlalu sering tersebut akan mempengaruhi :
1)
Produktivitas
dan kualitas kerja turun karena fokus perhatian lebih kepada perubahan
organisasi
2)
Disorientasi
visi, misi, & perumusan strategi manajemen BUMN dalam pengembangan BUMN pejabat
kementerian maupun
3)
Career
planning dan regenerasi SDM terampil terabaikan
4)
Capacity
building dalam SDM, Sistim Prosedur dan Peraturan terabaikan.
5)
Demotivasi
kerja diseluruh lapisan SDM Kementerian.
6)
Kurangnya
perhatian Kementerian terhadap pengembangan dan pengawasan BUMN yang semestinya
Selain itu permasalahan
lainnya yang muncul adalah struktur organisasi dan Sumber Daya Manusia “kurang
efektif “mendukung penanganan permasalahan di BUMN dan kurang mampu meningkatkan
kinerja. Kemungkinan faktor-faktor penyebab lainnya diantaranya adalah lemahnya
leadership dan lemahnya peran pembinaan serta pengawasan mengakibatkan prinsip
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) hanya sekedar
semboyan dan mendorong maraknya penyimpangan di BUMN. Permasalahan timbul
dimungkinkan karena Kebijakan yang dilakukan cenderung kurang menguntungkan
BUMN, contoh :
1)
Privatisasi,
lebih diutamakan untuk menutup APBN
2)
Sinergi
antar BUMN tidak dilaksanakan, malah terjadi persaingan antar BUMN yang saling
merugikan (Kimia Farma Vs Indo Farma, atau persaingan antar BUMN Konstruksi)
3)
Kuatnya
intervensi birokrasi dan politisi yang merugikan BUMN
Mencermati permasalahan yang ada, sudah saatnya BUMN dibenahi secara
keseluruhan. Beberapa kondisi manajerial dan kinerja BUMN patut dicermati,
termasuk kredibilitas dan kapabilitas board of director maupun komisaris di
BUMN yang menghadapi tekanan berbagai pihak.
2.4 Daya Saing BUMN
Walaupun masih banyak pihak yang sangsi atas kemampuan BUMN dalam menembus
pasar global, pemerintah tampak telah berketetapan untuk mewujudkan manajemen
BUMN yang sehat dan profesional. Keberadaan BUMN memang punya daya tarik
tersendiri untuk suatu perdebatan. Di satu sisi berbagai pihak suka
mencontohkan BUMN sebagai entitas bisnis yang sulit memperoleh laba. Namun tak
kurang pula ahli yang mengutarakan added value yang dimiliki BUMN. Tantangan
bisnis BUMN menghadapi pasar global , akan diperlukan kesamaan visi dan
persepsi
jajaran
manajemen BUMN untuk mengubah paradigma yang selama ini menjadi citra
organisasi BUMN. Jika selama ini BUMN identik dengan penonjolan comparative
advantage yang semata-mata mengandalkan modal dasar yang murah. Maka untuk visi
ke depan, perlu paradigma baru yang mengarah pada penekanan competitive
advantage melalui pengembangan profesionalisme manajemennya. Sebagai pemegang
saham mayoritas, sudah tentu pemerintah memiliki wewenang terhadap gerak
langkah BUMN dalam taraf corporate level, namun untuk aspek operasional yang
seringkali memerlukan kecermatan dan kecepatan mengambil keputusan seyogianya
diberikan “otonomi” atau empowerment pada jajaran manajemen BUMN terkait.
Apabila suatu BUMN telah mendapatkan kepercayaan dan empowerment untuk
pengelolaan usahanya, maka langkah pertama yang harus dirumuskan adalah sasaran
perusahaan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dari perjalanan
beberapa BUMN selama ini, tersirat adanya kelemahan dalam menentukan arah dan
sasaran perusahaan, sehingga mengakibatkan lemahnya proses perencanaan
strategis (strategic planning) di BUMN. Fenomena yang ada menunjukkan bahwa
daya saing sebagian BUMN rendah akibat dari beberapa faktor diantaranya :
a) Fasilitas produksi yang tua dan tidak
efisien
b)
sistim
manajemen & teknologi yang sederhana dan
c) overstaffing sumberdaya manusia
berkemampuan rendah, namun understaffing sumberdaya manusia yang terampil
dengan kompetensi tinggi.
Untuk dapat mengoptimalkan peran dari BUMN agar mampu mempertahankan
keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang makin terbuka dan
kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan profesionalisme antara lain melalui
pengurusan dan pengawasannya. Penerapan sistem pengurusan dan pengawasan BUMN
harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi dan prinsip-prinsip
tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Hal ini untuk mengatasi
masalah agar BUMN dapat dipimpin oleh Direksi yang profesional, kompeten,
jujur, dan diangkat karena factor keahlihan di bidangnya dan bukan kepentingan
politik atau lobby. Direksi diharapkan dapat memperlakukan BUMN sebagai
perusahaan korporasi , yang dapat menguntungkan BUMN .
Jika BUMN ingin memiliki keunggulan kompetitif, sehingga mampu bersaing
dengan badan usaha swasta nasional maupun trans-nasional, perlu adanya
“pembenahan yang terintegrasi”. Untuk mengatasi masalah keterbatasan pendanaan
untuk pengembangan usaha, akibat ketidakmampuan keuangan Pemerintah, khususnya
pada BUMN yang bermasalah keuangan, Pemerintah menetapkan PP No.55 tahun 190
tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang menjual sahamnya kepada masyarakat
melalui pasar modal. Inti peraturan pemerintah ini memberikan otonomi yang luas
kepada BUMN yang go public untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan BUMN
sebagai pelaku ekonomi yang memberikan perubahan yang mendasar dalam
pengelolaan BUMN. Profesionalisme jajaran manajemen BUMN tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia agar bisa kompeten
(competence) telah menjadi suatu tantangan di dalam mengantisipasi customer
satisfaction. Selain competency, diperlukan pula connection yang merupakan
kemampuan manajemen melakukan networking. Pembentukan jaringan, kemitraan, atau
aliansi, merupakan salah satu strategi manajerial untuk menghadapi persaingan.
Dari segi sistem, sudah saatnya manajemen BUMN melakukan reorientasi proses
manajemen sebagaimana diidentifikasikan oleh Rosabeth Moss Kanter (1989) dalam
istilah “5F” yaitu membuat usaha menjadi lebih focus (jelas sasarannya), fast
moving (gerak cepat), flexible (lincah), friendly (ramah terhadap mitra) dan
free (bebas dari pengaruh birokrasi)
2.5 Strategi Reposisi BUMN
Beberapa strategi yang dlakukan dalam rangka mereposisi BUMN diantaranya
adalah mengacu pada Francis Gouilart
dan James N. Kelly, yang menasihatkan bahwa untuk men-transformasikan organisasi diperlukan empat langkah :
1)
Reframing
corporate direction,
2)
Restructuring
the company,
3)
Revitalizing
the enterprise, dan
4)
Renewing
people.
Sementara Tanri Abeng (2003) memperkenalkan skenario untuk melakukan
transformasi BUMN,yaitu:
1)
Restrukturisasi
(penataan ulang),
2)
Profitisasi
(peningkatan laba yang signifikan sebagai langkah lanjut dari restrukturisasi
dan
3)
Privatisasi/pelepasan
kepemilikan dari negara ke publik.
Skenario ini direspon pada awal program kerja Kementrian BUMN di bawah
Kabinet Indonesia Bersatu, dan telah disampaikan dalam “Roadmap BUMN” yang
mengagendakan perlunya perubahan di BUMN. Strategi yang digariskan dan sudah
menjadi roadmap adalah restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi.
Privatisasi adalah resultan dari profitisasi yang optimal.
Peningkatan efisiensi dan efektifitas BUMN telah menjadi fokus perhatian
pemerintah sehingga dalam keputusan Menteri Keuangan No. 740/KMK.00/1989
tanggal 28 Juni 1989 disebutkan bahwa peningkatan efisiensi dan produktivitas
BUMN dapat dilakukan melalui resrukturisasi.
Secara teoritis restrukturisasi BUMN adalah pembenahan BUMN yang menyangkut
struktur, organisasi, aspek hukum, komposisi kepemilikan, aset, dan intern
manajemen yang pada dasarnya mempunyai tujuan untuk membentuk BUMN menjadi
pelaku ekonomi yang efisien, efektif, produktif, dan dikelola secara
profesional bisnis sehingga mampu mendapatkan keuntungan.
Restrukturisasi berkenaan
dengan penataan ulang manajemen dan struktur organisasi. Restrukturisasi BUMN
berkenaan dengan tatanan makro, yaitu berkenaan dengan strategi penataan ulang
korporasi BUMN.
Pelaksanaan arah kebijakan
restrukturisasi BUMN ditujukan untuk meningkatkan efisiensi usaha dan nilai
kompetitif BUMN, baik yang berbentuk Perum, maupun Persero. Restrukturisasi dilakukan
dengan memperhatikan dan tetap menjamin:
(1)
Tingkat
pelayanan,
(2)
Kemampuan
masyarakat dalam mendapatkan pelayanan,
(3)
Tidak
menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Program restrukturisasi BUMN bertujuan untuk meningkatkan keuntungan,
kesehatan, dan kualitas pelayanan perusahaan negara. Sasaran program ini adalah
meningkatnya efisiensi usaha dan daya saing BUMN serta terwujudnya kemitraan
yang kuat antara BUMN dengan usaha-usaha lainnya
2.6 Pembinaan dan Pengembangan BUMN
Kementerian Negara BUMN akan mengambil langkah-langkah kebijakan dalam
rangka pembinaan dan pengembangan BUMN antara lain :
1. Penyelesaian proses restrukturisasi
BUMN terutama dalam rangka mendorong sinergi dan melakukan konsolidasi BUMN,
transformasi bisnis dan kelanjutan rencana regrouping BUMN
2.
Identifikasi
aliansi strategis dan pengembangan usaha BUMN yang diutamakan pada BUMN yang
berbasis sumber daya alam (resource based)
3.
Penyelarasan
secara optimal kebijakan internal dan industrial serta pasar tempat BUMN beroperasi
dan mengimplementasikan linkages programme antar-BUMN
4.
Membangun
BUMN yang tangguh dan “berdaya saing tinggi” dalam persaingan global melalui kegiatan
revitalisasi BUMN;
5.
Konsolidasi
per sektor sesuai dengan kajian konsultan yang independen serta memisahkan fungsi
komersial dan public service obligation/PSO;
6.
Penyempurnaan
sistem pembinaan BUMN yang antara lain meliputi dalam rangka pemberian reward
and punishment, penerapan Key Performance Indicators (KPI), penyempurnaan
sistem remunerasi yang mengarah kepada market, dan penyempurnaan penilaian
tingkat kesehatan BUMN khususnya untuk BUMN Jasa Keuangan
7.
Peningkatan
upaya pemahaman masyarakat dan daerah terhadap keberadaan fungsi dan program
BUMN
8.
Peningkatan
profitisasi BUMN untuk mendukung peningkatan penerimaan APBN dari BUMN
9.
Pengelolaan
database BUMN secara baik melalui sistem informasi manajemen yang terintegrasi
10. Peningkatan implementasi program Good
Corporate Governance (GCG) dan manajemen resiko secara baik di BUMN maupun di
Kementerian Negara BUMN
11. Peningkatan implementasi program PKBL
sebagai wujud Corporate Social Responsibility (CSR)
2.7 Kebijakan Privatisasi
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang- undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, berdampak terhadap peningkatan semangat
otonomi daerah berupa keinginan beberapa Pemerintah Daerah untuk ikut serta
dalam pengelolaan, kepemilikan atau bagian pendapatan dari Badan Usaha yang
beroperasi di wilayahnya. Menghadapi tuntutan atau aspirasi beberapa Pemerintah
Daerah tersebut, Pemerintah selaku Pemegang Saham BUMN pada prinsipnya
menerapkan “kebijaksanaan korporasi" yang lazim berlaku yaitu penentuan
pengelolaan atau manajemen perusahaan dan pembagian pendapatan hanya dapat dilakukan
berdasarkan skema kepemilikan saham. Dengan kata lain, keterlibatan pihak-pihak
lain, termasuk Pemerintah Daerah dalam mengelola Badan Usaha melalui
wakil-wakilnya dalam manajemen/Direksi dan pembagian pendapatan atau laba Badan
Usaha dimungkinkan apabila pihak- pihak tersebut memiliki sebagian saham pada
Badan Usaha yang bersangkutan.
Reformasi Pengelolaan Badan Usaha dimaksudkan untuk merubah paradigma para
pengelola Badan Usaha agar berperilaku lebih terbuka, tanggap terhadap
perubahan dan menyadari perlunya proses pembelajaran. Strategi reformasi bisnis
Badan Usaha dilakukan melalui 4 (empat) kegiatan yaitu :
a) Reformasi Budaya meliputi penanaman
budaya kerja keras, rasa malu, peduli dan memiliki rasa ingin tahu,
berkeinginan untuk maju, tidak berperilaku otoriter, memiliki rasa syukur dan keterbukaan
dalam pengelolaan Badan Usaha.
b)
Reformasi
Manajemen meliputi peningkatan kinerja dengan berbasis pada sistem manajemen modern,
penerapan sistem reward and punishment serta peningkatan profesionalisme manajemen.
c)
Reformasi
Strategi meliputi peningkatan nilai perusahaan, fokus pada usaha pokok atau
core business, peningkatan pendapatan dan market share (untuk unit bisnis
driving market) dan cost leadership (untuk unit bisnis market driven).
d) Reformasi Pengelolaan Usaha meliputi
penyederhanaan organisasi dan struktur usaha sejenis, penciptaan struktur
organisasi yang flat tetapi efektif atau kaya fungsi dan hemat struktur.
Kebijakan privatisasi diletakkan dalam konteks pemulihan kehidupan ekonomi
secara nasional dan upaya menyehatkan perusahaan-perusahaan milik negara. Titik
berat kebijakan berkaitan erat dengan upaya mewujudkan good corporate
governance pada konteks etika bisnis. Dengan melakukan privatisasi, selain
memunculkan perilaku yang sadar biaya, juga menumbuhkan pengawasan publik
(public scrutiny), terutama bagi perusahaan yang menjual saham lewat pasar modal.
Pasar modal menempatkan prinsip disclosure dan fairness sebagai persyaratan
utama bagi perusahaan publik, sehingga privatisasi melalui pasar modal
diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan praktik good corporate governance.
Sebagai Badan Usaha, BUMN mempunyai stake holder yang lebih banyak dibandingkan
Badan Usaha lainnya. Kepentingan dan harapan setiap stakeholder seringkali
berbeda-beda bahkan ada yang bertolak belakang. Kondisi semacam ini menyebabkan
setiap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah selaku Pemegang Saham BUMN seringkali
tidak efektif, bahkan ditentang oleh stake holder yang lain, misalnya yang
menyangkut program privatisasi BUMN. Mengingat privatisasi BUMN merupakan salah
satu program penting yang perlu didukung oleh seluruh stakeholder, penyamaan
visi dan persepsi tentang privatisasi merupakan salah satu faktor kunci
keberhasilan kebijakan privatisasi BUMN. Penyamaan visi dan persepsi tersebut
akan dicapai melalui pelaksanaan program sosialisasi privatisasi.
Terdapat 5 (lima) kebijakan yang
diterapkan pada Badan Usaha yaitu:
1)
Peningkatan Shareholder Value
Kebijaksanaan peningkatan nilai perusahaan ditujukan untuk memenuhi
keinginan para stakeholder terutama Pemegang Saham. Ada 3 (tiga) ukuran nilai
yang digunakan yaitu tingkat pengembalian modal (Return On Capital Employed),
Earning Before Tax and Depreciation (EBITDA) dan Deviden. Peningkatan ketiga
ukuran nilai tersebut diupayakan melalui peningkatan pendapatan usaha dan atau penurunan
biaya melalui cost cutting dan cost reduction.
2)
Efektif Manajemen.
Memberikan kewenangan yang lebih luas kepada manajemen Badan Usaha serta
secara bertahap mengurangi campur tangan Pemerintah. Dengan kebijakan tersebut
diharapkan manajemen dapat lebih luwes dan aktif dalam mengelola bisnis Badan
Usaha serta tidak hanya melaporkan rencana kerja maupun hasil kinerjanya kepada
Pemegang Saham saja, namun juga disosialisasikan kepada seluruh unit termasuk
karyawan Badan Usaha yang bersangkutan. Dengan kebijakan tersebut diharapkan
agar setiap keputusan, baik yang diambil oleh Pemegang Saham maupun manajemen dapat
dipahami dan didukung oleh karyawan, sehingga karyawan turut bertanggung jawab
terhadap kemajuan perusahaan.
3)
Peningkatan Operasi, Pelayanan dan Pendapatan
Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada manajemen untuk
meningkatkan operasi, pelayanan dan pendapatan (revenue, service and operation
enhancement) baik melalui pengembangan strategi lini bisnis yang telah ada
maupun diversifikasi usaha dengan cara kerjasama antara sesama Badan Usaha
maupun dengan Koperasi/UKM serta pihak swasta. Hal ini dimaksudkan agar manajemen
mempunyai fleksibilitas dan kemandirian dalam pengelolaan bisnis perusahaan.
4)
Sistem Pengadaan Barang dan Jasa
Sistem pengadaan barang dan jasa (procurement system) oleh Badan Usaha
merupakan salah satu proses yang perlu disempurnakan. Kebijakan yang akan
diambil adalah menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa Badan Usaha melalui
e-procurement, sehingga transparansi proses penentuan vendor atau supplier
dapat dilakukan secara terbuka sehingga dapat meminimalkan biaya transaksi.
5)
Restrukturisasi dan Privatisasi
a) Restrukturisasi
Sebagaimana mandat yang diberikan oleh MPR, pemerintah berkewajiban untuk
menyehatkan Badan Usaha, terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan
umum. Upaya penyehatan Badan Usaha ini dapat dilaksanakan melalui
restrukturisasi agar perusahaan dapat beroperasi secara lebih efisien,
transparan dan profesional sehingga Badan Usaha-Badan Usaha ini dapat
memberikan produk/layanan terbaik dengan harga yang kompetitif kepada konsumen,
serta memberikan devidendan pajak kepada negara. Sebelum melaksanakan
restrukturisasi, pemerintah akan mempertimbangkan biaya dan manfaat dari
restrukturisasi tersebut.
Paradigma pengelolaan BUMN mengalami pergeseran dari waktu ke waktu,
seiring dengan perubahan kebutuhan, tuntutan, dan kondisi obyektif pada
masing-masing era.Fenomena ini menarik, karena bisa menandai adanya pergeseran
cara pandang terhadap keberadaan dan pengelolaan BUMN. Pergeseran paradigma dan
reposisi privatisasi BUMN mengacu ke kebijakan yang ada. Di zaman Presiden
Soeharto, untuk pertama kalinya BUMN menjalani program privatisasi, atau dijual
sebagian sahamnya di pasar modal, yang dimulai dengan divestasi saham Semen
Gresik di bursa lokal pada Juli 1991. Di era ini pula tercatat sejarah masuknya
BUMN ke pasar modal internasional melalui dual listing, yakni di luar negeri
(New York dan London) serta dalam negeri (Jakarta dan Surabaya). Selanjutnya
menyusul dua BUMN Telekomunikasi yaitu 1) PT.Indosat (Oktober 1994) dan 2)PT.
Telkom (November 1995). Kemudian diikuti perusahaan Antam (Aneka Tambang) go
public di Indonesia dan Australia (1997).
Sebagaimana diungkapkan pada Studi A. Tony Prasetiantono (2005) , bahwa
penjualan saham Telkom di New York dan London mengalami rintangan yang cukup
terjal. Selain karena faktor waktu (timing) yang kurang tepat, juga karena pada
tahun itu ada 19 perusahaan Telekomunikasi kelas dunia yang juga menjual
sahamnya, termasuk Deutsche Telekom, Telstra dan Telefonica. Di era Presiden
Habibie, ketika keuangan negara sedang terganggu, program privatisasi menuai
kontroversi hebat tatkala pemerintah menjual 14 persen saham Semen Gresik
kepada investor strategis Cemex (Meksiko), pada September 1998. Selanjutnya,
kontroversi juga berulang ketika pemerintahan Presiden Megawati menjual 42
persen saham Indosat kepada investor strategis STT (Singapore Technologies
Telemedia), pada akhir tahun 2002. Pada periode ini (1998-2003), paradigma
privatisasi lebih dimaknai sebagai upaya untuk mendapatkan dana untuk membantu APBN,
yang sedang tertekan berat.
Selanjutnya paradigma bergeser. Setelah sempat jeda dari hiruk pikuk
privatisasi BUMN di sepanjang tahun 2005, pada tahun 2006 Kantor Menteri Negara
BUMN kembali mencantumkan privatisasi sebagai salah satu agendanya. Namun, jika
tahun 2005 program privatisasi ditargetkan menghasilkan Rp3,5 triliun untuk
membantu penerimaan pemerintah tetapi realisasinya diputuskan menjadi nihil,
maka tahun 2006 hanya ditargetkan Rp1 triliun, yang kemudian direvisi lagi
menjadi Rp3 triliun. Sebaliknya, target penerimaan negara dari dividen BUMN
melonjak luar biasa menjadi Rp 23,2 triliun dari posisi realisasi Rp12,7
triliun pada 2005 (Tempo, 30 Januari 2006). Paradigma badan usaha milik negara
(BUMN) mengalami perubahan dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Di masa krisis perekonomian, BUMN diarahkan untuk diprivatisasi,
atau sahamnya dijual kepada swasta baik dengan strategi IPO (initial public
offering) melalui bursa saham maupun strategi private placement kepada investor
strategis agar hasilnya dapat membantu pemerintah mengurangi beban defisit
anggaran (budget deficit). Paradigma ini pada dasarnya sejalan dengan resep
generik yang ditawarkan oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom
Amerika Serikat yang merekomendasikan Washington Consensus (Williamson,
1994). Pelajaran terpenting dari kasus-kasus ini adalah, privatisasi dengan
metode strategic partner kepada investor asing amat rawan menyulut resistensi,
karena sulitnya menjamin transparansi dalam prosesnya, serta adanya semangat
nasionalisme (nationalist sentiment) dari sebagian masyarakat. Sebaliknya,
privatisasi melalui metode IPO di bursa efek, nyaris tidak menghadapi
resistensi,
.
2.8 Pelaksanaan Privatisasi BUMN
Pada masa lalu, sering terjadi salah paham terhadap privatiasasi yang
digambarkan sebagai suatu bentuk penjualan aset bangsa dan negara kepada pihak
lain terutama masyarakat asing. Hal ini disebabkan masih belum
tersosialisasikannya privatisasi dan seluk beluknya secara luas kepada seluruh
masyarakat. Di lain pihak belum adanya peraturan yang secara khusus (selain UU
Nomor 19 Tahun 2003) mengatur tentang privatisasi BUMN membuat pelaksanaan
privatisasi masih belum memiliki arah yang jelas.
Dengan telah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan, proses privatisasi BUMN telah
memiliki standar baku yang harus diterapkan sehingga pelaksanaan privatisasi
BUMN diharapkan akan lebih terarah. Pada masa yang akan datang, privatisasi
BUMN akan lebih diarahkan pada penerbitan saham baru guna memperkuat struktur
permodalan perusahaan sehingga memberikan keleluasaan yang lebih bagi
perusahaan untuk melakukan ekspansi usaha. Kondisi yang terbaik adalah semua
pihak yang terlibat dapat memahami proses privatisasi dari tahap awal sampai
dengan tahap terakhir. Meskipun langkah-langkah untuk melaksanakan privatisasi
telah disusun oleh pemerintah, namun demikian privatisasi bukanlah suatu proses
yang sederhana, tetapi merupakan suatu proses yang cukup kompleks.
Untuk privatisasi, ada tiga elemen penting yang harus dicemati. Pertama ,
timing. Karena timing akan mempengaruhi pricing, sebagi elemen kedua. Ketiga
,adalah target size, atau besaran yang hendak kita capai dalam privatisasi.
Initial Public Offering (IPO) adalah upaya untuk mendapatkan best price, dimana
tolok ukurnya adalah benhmarking. Pemerintah telah melakukan privatisasi BUMN
sejak tahun 1991. Perlu digarisbawahi bahwa kebijakan privatisasi bukan sekedar
merupakan pengalihan aset negara kepada swasta semata dan juga tidak sekedar
menutup defisit APBN. Akan tetapi, lebih dari itu, privatisasi BUMN merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari upaya program reformasi BUMN untuk mencapai
kinerja yang lebih baik. Privatisasi BUMN juga diarahkan sebagai instrumen
pemerataan kesejahteraan rakyat melalui kepemilikan saham di BUMN. Mengingat
begitu pentingnya peranan privatisasi BUMN, maka kesuksesan program tersebut
harus mendapat prioritas utama. Sehubungan dengan itu, kebijakan privatisasi
BUMN dilakukan secara hati-hati dengan tetap mengedepankan kepentingan
masyarakat dan berpegang pada prinsip-prinsip kompetitif, transparan,
auditable, dan dilakukan dengan mempertimbangkan size, timing, dan price yang
tepat agar diperoleh hasil yang optimal.
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh dalam melakukan privatisasi, seperti
menawarkan saham ke publik (initial public offering/IPO), penjualan kepada
mitra strategis (strategic sale), dan pembelian oleh manajemen dan pegawai
(employee management buy out/EMBO). Untuk perusahaan negara yang masih dimiliki
100% sahamnya oleh pemerintah, pelepasan dapat dilakukan de-ngan melepaskan
sebagian (1%-49%), menjual sebagian saham beserta kontrol manajemen (1%-49%)
dan mayoritas kursi dewan direksi/komisaris, menjual mayoritas tetapi memiliki
blocking share (51%-65%), menjual mayoritas (66%-99%) tetapi memiliki golden
share, dan menjual seluruhnya (100%).
Tujuan privatisasi jelas yakni memperluas kepemilikan masyarakat atas
perusahaan negara, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan,
menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang kuat, membuat
struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan perusahaan yang
berdaya saing dan berorientasi global, dan menumbuhkan iklim usaha, ekonomi
makro, dan kapasitas pasar. Yang juga perlu diperhatikan dalam pelepasan aset
negara adalah strategi divestasi. Strategi divestasi tersebut dilakukan dengan
cara, pertama, mapping aset negara yang akan didivestasi dengan memperhatikan
filosofi dari penguasaan aset negara. Kedua, menentukan mekanisme dan waktu
pelepasan aset sesuai dengan mapping aset dan kebutuhan pemerintah. Ketiga, melakukan
restrukturisasi atas aset yang belum siap dijual sebelum didivestasi untuk
mendapatkan nilai yang optimal. Di Indonesia, pada dasarnya kegiatan
privatisasi menyangkut dua hal : divestasi dan non divestasi. Privatisasi dalam
bentuk divestasi ditandai dengan pemindahtanganan pemilikan pemerintah sebagian
atau keseluruhan, kepada swasta. Aplikasinya dapat dilakukan dengan go publik melalui
pasar modal atau private placement dengan menempatkan secara langsung saham
BUMN kepada strategic investor atau perusahaan swasta lainnya.
Sementara privatisasi yang lain adalah non divestasi, dimana pada dasarnya
tidak disertai dengan pengalihan aset atau saham pemerintah kepada swasta
tetapi lebih merupakan suatu pembenahan internal organization, baik melalui
pembenahan langsung manajemen BUMN yang bersangkutan atau melalui pembenahan
lingkungan kerja BUMN. Privatisasi bentuk ini sering disebut dengan privatisasi
manajemen atau korporatisasi (Ruru B, 1998).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jumlah perusahaan negara menjadi semakin meningkat karena
pada akhir tahun 1950-an Presiden Soekarno, dalam konsep ekonomi terpimpin di
mana Perusahaan Negara sebagai sarana utama untuk meningkatkan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi nasional. Pengertian yang sering digunakan yang dimaksud
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan [Pasal 1 Angka 1.
Berdasarkan Master plan BUMN tahun 2002 -2006 ditegaskan bahwa ada tiga
fungsi dari Kementrian Negara BUMN : Pertama, perumusan kebijakan pemerintah di
bidang pembinaan BUMN yang meliputi kegiatan pengendalian, peningkatan
efisiensi, restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Kedua, pengkoordinasian dan
peningkatan keterpaduan penyusunan, analisis dan evaluasi di bidang pembinaan
BUMN. Dan, ketiga, penyampaian laporan hasil, saran dan pertimbangan di bidang
tugas serta fungsinya kepada Presiden.
Permasalahan di BUMN dewasa ini memang sangat complicated sehingga jajaran manajemen
seringkali mengalami “disorientasi permasalahan”. Banyak yang menyoroti
permasalahan yang ada di tubuh Kementrian BUMN, yang selama ini menjadi objek
perbincangan di seminar. Menneg BUMN diharapkan bisa mencerminkan kriteria sebagai
the best CEO for the firm, dan seluruh jajaran manajemen BUMN tentunya juga
dituntut hal yang sama. Selain perlu memahami teori ekonomi makro dan mikro,
juga harus memiliki pengalaman dan wawasan luas di sektor finansial serta pasar
modal sebagai fondasi dalam mengelola operasi perusahaan.
Walaupun
masih banyak pihak yang sangsi atas kemampuan BUMN dalam menembus pasar global,
pemerintah tampak telah berketetapan untuk mewujudkan manajemen BUMN yang sehat
dan profesional. Keberadaan BUMN memang punya daya tarik tersendiri untuk suatu
perdebatan. Di satu sisi berbagai pihak suka mencontohkan BUMN sebagai entitas
bisnis yang sulit memperoleh laba. Namun tak kurang pula ahli yang mengutarakan
added value yang dimiliki BUMN
Beberapa strategi yang dlakukan dalam rangka mereposisi BUMN diantaranya
adalah mengacu pada Francis Gouilart
dan James N. Kelly, yang menasihatkan bahwa untuk men-transformasikan organisasi diperlukan empat langkah :
5)
Reframing
corporate direction,
6)
Restructuring
the company,
7)
Revitalizing
the enterprise, dan
8)
Renewing
people.
Kementerian Negara BUMN akan mengambil langkah-langkah kebijakan dalam
rangka pembinaan dan pengembangan BUMN antara lain :
12. Penyelesaian proses restrukturisasi
BUMN terutama dalam rangka mendorong sinergi dan melakukan konsolidasi BUMN,
transformasi bisnis dan kelanjutan rencana regrouping BUMN
13. Identifikasi aliansi strategis dan pengembangan
usaha BUMN yang diutamakan pada BUMN yang berbasis sumber daya alam (resource
based)
14. Penyelarasan secara optimal kebijakan
internal dan industrial serta pasar tempat BUMN beroperasi dan
mengimplementasikan linkages programme antar-BUMN
15. Membangun BUMN yang tangguh dan
“berdaya saing tinggi” dalam persaingan global melalui kegiatan revitalisasi
BUMN;
Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang- undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, berdampak terhadap peningkatan semangat otonomi daerah berupa keinginan
beberapa Pemerintah Daerah untuk ikut serta dalam pengelolaan, kepemilikan atau
bagian pendapatan dari Badan Usaha yang beroperasi di wilayahnya. Menghadapi
tuntutan atau aspirasi beberapa Pemerintah Daerah tersebut, Pemerintah selaku Pemegang
Saham BUMN pada prinsipnya menerapkan “kebijaksanaan korporasi" yang lazim
berlaku yaitu penentuan pengelolaan atau manajemen perusahaan dan pembagian
pendapatan hanya dapat dilakukan berdasarkan skema kepemilikan saham.
DAFTAR PUSTAKA
Abeng, T.
2003. “Badan Usaha Milik Negara: Privatisasi, Tantangan dan Harapan.Blogspot.com//html
(Pukul :1.54 WIB)