Monday 1 December 2014

LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN


BAB I
Pendahuluan
A.    Pendahuluan
Pendidikan nasional Indonesia dewasa ini terpaut dengan praktik-praktik pendidikan pada masa lalu, dan sekaligus mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan. Terdapat berbagai pengetahuan dan nilai sejarah dalam praktik pendidikan bangsa kita di masa lalu, yang dapat kita ambil hikmahnya demi pembangunan pendidikan di masa sekarang dan di masa depan. Sebab itu, sejarah pendidikan nasional tersebut perlu Anda pelajari. BBM ini akan membantu Anda untuk memahami pendidikan di Indonesia sejak zaman Purba hingga zaman kolonial Belanda; pendidikan di Indonesia pada zaman pergerakan kebangsaan (pergerakan nasional) dan zaman Pendudukan Militerisme Jepang; serta pendidikan pada zaman kemerdekaan hingga era pembangunan jangka panjang pertama (PJP I). Semua ini tentunya akan memperluas wawasan kependidikan Anda, dan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam berpartisipasi membangun pendidikan nasional.
Materi BBM ini terdiri atas tiga sub pokok bahasan. Sub pokok bahasan pertama mencakup sejarah pendidikan di Indonesia pada zaman Purba, zaman Kerajan Hindu- Budha, zaman Kerajaan Islam, zaman pengaruh Portugis dan Spanyol, serta zaman Kolonial Belanda. Sub pokok bahasan kedua mecakup sejarah pendidikan yang diselenggarakan oleh Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional) dan pemerintah Pendudukan Jepang. Adapun sub pokok bahasan ketiga mencakup sejarah pendidikan pada periode tahun 1945-1969 dan pada era Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I.
Setelah mempelajari BBM ini, Anda diharapkan dapat mendeskripsikan sejarah pendidikan di Indonesia. Demi mencapai tujuan itu, Anda perlu dapat melakukan hal-hal berikut:
1.      Menjelaskan pendidikan pada zaman Purba.
2.      Menjelaskan pendidikan pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
3.      Menjelaskan pendidikan Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional).
4.      Menjelaskan pendidikan zaman pendudukan Militerisme Jepang.
5.      8. Menjelaskan pendidikan pada periode tahun 1945-1969.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Pada Zaman Purba Hingga Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda
Kegiatan belajar ini menyajikan sejarah pendidikan Indonesia pada zaman Purba hingga zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Kajian sejarah pendidikan ini meliputi dua hal pokok, yaitu latar belakang sosial budayanya dan implikasinya terhadap pendidikan. Dengan demikian, melalui kegiatan belajar ini Anda akan dapat menjelaskan kondisi pendidikan di Indonesia pada zaman Purba, zaman kerajaan Hindu/Budha, zaman kerajaan Islam, zaman pengaruh Portugis dan Spanyol, dan pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda yang turut mewarnai perkembangan pendidikan di Indonesia pada zaman berikutnya hingga dewasa ini.
1.      Zaman Purba.
            Latar Belakang Sosial Budaya. Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan, kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat nenek moyang bangsa Indonesia pada zaman Purba disebut kebudayaan paleolitik. Adapun kebudayaan pada kurang lebih 1500 tahun SM yang lalu disebut kebudayaan neolitik. Kebudayaan masyarakat pada zaman purba tergolong kebudayaan maritim. Kepercayaan yang dianut masyarakat antara lain animisme dan dinamisme. Masyarakat dipimpin oleh oleh ketua adat.
Namun demikian ketua adat dan para empu (pandai besi dan dukun yang merupakan orang-orang pandai) tidak dipandang sebagai anggota masyarakat lapisan tinggi, kecuali ketika mereka melaksanakan peranannya dalam upacara adat atau upacara ritual, dll. Sebab itu, mereka tidak memiliki stratifikasi sosial yang tegas, tata masyarakatnya bersifat egaliter. Adapun karakteristik lainnya yakni bahwa mereka hidup bergotong-royong.
Ø  Pendidikan
Tujuan pendidikan pada zaman ini adalah agar generasi muda dapat mencari nafkah, membela diri, hidup bermasyarakat, taat terhadap adapt dan terhadap nilai-nilai religi (kepercayaan) yang mereka yakini. Karena kebudayaan masyarakat masih bersahaja, pada zaman ini belum ada lembaga pendidikan formal (sekolah).
            Pendidikan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga dan dalam kehidupan keseharian masyarakat yang alamiah. Kurikulum pendidikannya meliputi pengetahuan, sikap dan nilai mengenai kepercayaan melalui upacara-upacara keagamaan dalam rangka menyembah nenek moyang, pendidikan keterampilan mencari nafkah (khususnya bagi anak laki-laki) dan pendidikan hidup bermasyarakat serta bergotong royong melalui kehidupan riil dalam masyarakatnya. Pendidiknya terutama adalah para orangtua (ayah dan ibu), dan secara tidak langsung adalah para orang dewasa di dalam masyarakatnya. Sekalipun ada yang belajar kepada empu, apakah kepada pandai besi atau kepada dukun jumlahnya sangat terbatas, utamanya adalah anak-anak mereka sendiri.
2.      Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Latar Belakang Sosial Budaya. Pada tahun 1596 bangsa Belanda telah datang ke negeri kita. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk berdagang. Pada tahun 1602 mereka mendirikan VOC. Karena VOC merupakan badan perdagangan milik orang-orang Belanda yang beragama Protestan, maka selain berupaya menguasai daerah untuk berdagang, juga untuk menyebarkan agama Protestan. Kekuasaan VOC akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Negeri Belanda, karena itu sejak tahun 1800-1942 negeri kita menjadi jajahan Pemerintah Kolonial Belanda. Karaketristik kondisi sosial budaya pada zaman ini antara lain:
(1)   berlangsungnya kolonialisme,
(2)   dalam bidang ekonomi berlangsung monopoli perdagangan hasil pertanian yang dibutuhkan dan laku di pasar dunia,
(3)   terdapat stratifikasi sosial berdasarkan ras atau suku bangsa dengan urutan dari lapisan tertingi s.d. terbawah sebagai berikut: bangsa Belanda, golongan orang Timur Asing, golongan Priyayi/Bangsawan Pribumi, dan golongan Rakyat Jelata Pribumi.
Sejak berkuasanya bangsa Belanda, bangsa kita ditindas dan diadu domba, kekuasaan para raja dirampasnya, dan kekayaan alam Indonesia diangkutnya. Sesungguhnya bangsa Indonesia terus berjuang melawan penjajahan ini, perlawanan dan pemberontakan dilakukan oleh berbagai kelompok bangsa kita di berbagai daerah di tanah air. Penjajahan yang telah berlangsung lama benar-benar telah mengungkung kemajuan bangsa Indonesia, dan mengakibatkan kemelaratan serta kebodohan. Seiring perjuangan bangsa yang tak pernah padam, pada awal abad ke-20 muncul tekanan serta kecaman kaum humanis dan kaum sosial demokrat di Belanda atas kekeliruan politik penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini akhirnya memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan Politik Etis (1901).
Dengan semakin sadarnya bangsa Indonesia akan makna nasionalisme dan kemerdekaan, pada awal abad ke-20 (sejak kebangkitan nasional tahun 1908) lahirlah berbagai pergerakan. Pergerakan nasional berlangsung dalam jalur politik maupun pendidikan. Coba Anda urai kembali sejarah berbagai perkumpulan atau organisasi pergerakan nasional beserta usaha-usahanya yang timbul sejak Kebangkitan Nasional tahun 1908 sebagaimana telah Anda pelajari di SMP dan SMA.
Pendidikan. Implikasi dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Indonesia pada zaman ini, secara umum dapat dibedakan dua garis penyelenggaraan pendidikan, yaitu: Pertama, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda; Kedua, pendidikan yang diselenggarakan oleh rakyat dan Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional) sebagai sarana perjuangan demi merebut kembali kemerdekaan dan sebagai upaya rintisan ke arah pendidikan nasional. Berikut ini mari kita kaji kondisi pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Adapun pendidikan yang diselenggarakan oleh rakyat dan Kaum Pergerakan Nasional.
a.      Pendidikan Zaman VOC
Pendidikan di bawah kekuasaan kolonial Belanda diawali dengan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh VOC. VOC menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan), bukan untuk misi intelektualitas, adapun tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan pegawai administrasi rendahan di pemerintahan dan gereja. Sekolah-sekolah utamanya didirikan di daerah-daerah yang penduduknya memeluk Katholik yang telah disebarkan oleh bangsa Portugis. Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah berdiri 16 sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah.
Kurikulum pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan, membaca dan menulis. Kurikulum pendidikan belum bersifat formal (belum tertulis), dan lama pendidikannya pun tidak ditentukan dengan pasti. Murid-muridnya berasal dari anakanak pegawai, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk sekolah. Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka yang sebelumnya telah dididik di Belanda. Selama kira-kira 200 tahun berkuasa di negeri kita, pendidikan yang dilaksanakan VOC benar-benar sangat sedikit sekali. Sampai tahun 1779 jumlah murid pada sekolah VOC adalah sbb: Batavia 639 orang, pantai utara Jawa 327 orang, Makasar 50 orang, Timor, 593 orang, Sumatera barat 37 orang, Cirebon 6 orang, Banten 5 orang, Maluku 1057 orang, dan Ambon 3966 orang (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976).
b. Pendidikan Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebagai kelanjutan dari zaman VOC, pendidikan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda pun mengecewakan bangsa Indonesia. Kebijakan dan praktek pendidikan pada zama ini antara lain:
1)         Tahun 1808 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan agar para bupati di Pulau Jawa menyebarkan pendidikan bagi kalangan rakyat, tetapi kebijakan ini tidak terwujud.
2)         Tahun 1811-1816 ketika pemerintahan di bawah kekuasaan Raffles pendidikan bagi rakyat juga diabaikan.
3)         Tahun 1816 Komisaris Jenderal C.G.C. Reindwardt menghasilkan Undang-undang Pengajaran yang dianggap sebagai dasar pendirian sekolah, tetapi Peraturan Pemerintah yang menyertainya yang dikeluarkan tahun1818 tidak sedikit pun menyangkut perluasan pendidikan bagi rakyat Indonesia, melainkan hanya berkenaan dengan pendidikan bagi orang-orang Belanda dan golongan Pribumi penganut Protestan.
4)         Selanjutnya, di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch dikeluarkan kebijakan Culturstelsel (Tanam Paksa) demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Belanda. Karena untuk hal ini dibutuhkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang banyak, maka tahun 1848 Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk menggunakan dana anggaran belanja negara sebesar f 25.000 tiap tahunnya untuk mendirikan sekolah-sekolah di Pulau Jawa dengan tujuan mengahasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan. Pada tahun 1849-1852 didirikan 20 sekolah (di tiap keresidenan).
Namun sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak Pribumi golongan priyayi/bangsawan, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diperkenankan. Penyelenggaraan pendidikan bagi kalangan bumi putera yang dicanangkan sejak 1848 mengalami hambatan karena kekurangan guru dan mengenai bahasa pengantarnya. Maka pada tahun 1852 didirikanlah Kweekschool (sekolah guru) pertama di Surakarta, dan menyusul di kota-kota lainnya. Sekolah ini pun hanyalah untuk anakanak golongan priyayi.
5)        Pada tahun 1863 dan 1864 keluar kebijakan bahwa penduduk pribumi pun boleh diterima bekerja untuk pegawai rendahan dan pegawai menengah di kantor- kantor dengan syarat dapat lulus ujian. Syarat-syarat ini ditetapkan oleh putusan Raja pada tgl. 10 September 1864. Demi kepentingan itu di Batavia didirikanlah semacam sekolah menengah yang disempurnakan menjadi HBS (Hogere Burger School).
6)        Tahun 1867 didirikan Departemen Pengajaran Ibadat dan Kerajinan.
7)        Tahun 1870 UU Agraris dari De Waal yang memberikan kesempatan kepada pihak partikelir untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan pegawai. Hal ini berimplikasi pada perluasan sekolah.
8)        Tahun 1893 keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumi Putera, yaitu Sekolah Kelas I untuk golongan priyayi, sedangkan Sekolah Kelas II untuk golongan rakyat jelata.
9)        Setelah dilaksanakannya Politik Etis, pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van Heutsz mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan Bumi Putera: pertama, mendirikan Sekolah Desa yang diselenggarakan oleh Desa, bukan oleh Gubernemen. Biaya dsb. menjadi tanggung jawab pemerintah desa; kedua, memberi corak sifat ke-Belanda-an pada Sekolah Kelas I. Maka tahun 1914 Sekolah Kelas I diubah menjadi HIS (Holands Inlandse School) 6 tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sedangkan Sekolah Kelas II tetap bernama demikan atau disebut Vervoleg School (sekolah sambungan) dan merupakan lanjutan dari Sekolah Desa yang didirikan mulai tahun 1907. Akibat dari hal ini, maka anak-anak pribumi mengalami perpecahan, golongan yang satu merasa lebih tinggi dari yang lainnya.
10)    Pada tahun 1930-an usaha perluasan pendidikan bagi Bumi Putera mengalami hambatan. Surat Menteri Kolonial Belanda Colijn kepada Gubernur Jenderal de Jonge pada 10 Oktober 1930 menyatakan bahwa perluasan sekolah negeri jajahan terutama untuk kaum Bumi Putera akan sulit karena kekurangan dana.
Dalam periode pemerintahan kolonial Belanda, betapa kecilnya usaha-usaha pendidikan bagi kalangan Bumi Putera. Sampai akhir tahun 1940 jumlah penduduk bangsa Indonesia 68.632.000, sedangkan yang bersekolah hanya 3,32%. Ciri-ciri pendidikan. Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya partisipasi pendidikan bagi kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya hanya diperuntukan bagi bangsa Belanda dan anak-anak bumi putera dari golongan priyayi; kedua, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan. Tilaar (1995) mengemukakan lima ciri pendidikan zaman kolonial Belanda, yaitu:
1)        Adanya Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk bangsa Belanda yang dibedakan dengan pendidikan untuk kalangan Bumi Putera;
2)        Sistem Konkordansi, yaitu pendidikan di daerah jajahan diarahkan dan dipolakan menurut pendidikan di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di satu pihak memberi efek menguntungkan, sebab penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama, tetapi dipihak lain ada efek merugikan dalam hal pembentukan jiwa kaum Bumi Putera yang asing dengan budaya dan bangsanya sendiri;
3)        Sentralisasi pengelolaan pendidikan oleh pemerintahan kolonial Belanda;
4)        Menghambat gerakan nasional; dan
5)        Munculnya perguruan swasta yang militan demi perjuangan nasional (kemerdekaan).

B.     Pendidikan Yang Diselenggarakan Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional) Dan Pendidikan Zaman Pendudukan Militerisme Jepang
1.      Pendidikan oleh Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional) sebagai Sarana Perjuangan Kemerdekaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Nasional.
Latar Belakang Sosial Budaya Timbulnya Pergerakan Nasional. Telah Anda  pahami melalui kegiatan pembelajaran 1 bahwa kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan sangat merugikan bangsa Indonesia. Pemerasan yang dilakukan Belanda terhadap bangsa dan kekayaan Indonesia, telah menimbulkan penderitaan/kemiskinan.  Perbedaan kedudukan dan kehidupan yang mencolok antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia sangat nyata, baik dalam kedudukan sosial maupun pemberian gaji. Stratifikasi sosial, sistem dualisme dan konkordansi dalam bidang pendidikan telah menimbulkan rendahnya kesempatan pendidikan yang diberikan kepada bangsa Indonesia, juga menimbulkan perpecahan dan kebodohan. Selain itu, pendidikan bagi bangsa kita hanya ditujukan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah untuk mendukung sistem ekonomi dan politik kolonialisme. Pendidikan kolonial Belanda tidak memungkinkan bangsa Indonesia untuk menjadi cerdas, bebas, bersatu dan merdeka.
Berbagai kondisi yang sangat merugikan bangsa Indonesia akibat kebijakan dan praktek-praktek penjajahan tersebut di atas, telah menimbulkan rasa senasib sepenanggungan sebagai bangsa yang dijajah sehingga muncul rasa kebangsaan/nasionalisme. Kebesaran masa lampau bangsa kita semasa zaman kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dsb., juga memperkuat rasa harga diri sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka. Sebab itu , kaum terpelajar di kalangan bangsa kita terdorong untuk berperan menjadi motor pergerakan. Bahasa melayu yang merupakan bahasa kesatuan makin menyadarkan bahwa bangsa Indonesia adalah satu bangsa. Selain itu, karena mayoritas bangsa Indonesia memeluk agama Islam, maka timbul persepsi bahwa Belanda adalah Kafir. Itulah antara lain faktor-faktor intern ( faktor-faktor yang terjadi di dalam negeri) yang menimbulkan pergerakan kebangsaan/pergerakan nasional.
Sejak Kebangkitan Nasional (1908) sifat perjuangan rakyat Indonesia dilakukan melalui berbagai partai dan organisasi, baik melalui jalur politik praktis, jalur ekonomi, sosial-budaya. dan khususnya melalui jalur pendidikan. Sifat perjuangan bangsa kita saat itu tidak lagi hanya menitik beratkan pada perjuangan fisik. Mengingat ciri-ciri pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak memungkinkan bangsa Indonesia untuk menjadi cerdas, bebas, bersatu, dan merdeka, maka kaum pergerakan semakin menyadari bahwa pendidikan yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam program perjuangannya. Usaha-usaha kaum pergerakan melalui jalur pendidikan demi kemerdekaan dan rintisan ke arah pendidikan nasional tampak jelas. Hampir setiap organisasi pergerakan nasional mencantumkan dan melaksanakan pendidikan dalam anggaran dasar dan/atau dalam program kerjanya.
Pendidikan. I Djumhur dan H. Danasuparta (1976) mengemukakan bahwa setelah tahun 1900 usaha-usaha partikelir di bidang pendidikan berlangsung dengan sangat giatnya. Untuk mengubah keadaan akibat penjajahan, kaum pergerakan memasukan pendidikan ke dalam program perjuanganya. Dewasa ini lahirlah sekolah-sekolah partikelir (perguruan nasional) yang diselenggarakan para perintis kemerdekaan.
Sekolah-sekolah itu mula-mula bercorak dua:
1)                            Sekolah-sekolah yang sesuai haluan politik, seperti yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa), Dr. Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi (Ksatrian Institut), Moch. Sjafei (INS Kayutanam) dsb.
2)                            Sekolah-sekolah yang sesuai tuntutan agama (Islam), seperti yang diselenggarakan oleh: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sumatera Tawalib di Padangpanjang, dll
Selain itu, sebelumnya telah diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh wanita seperti R.A. Kartini (di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus (di Sumatera). Kebijakan dan praktek pendidikan yang diselenggarakan rakyat dan kaum pergerakan antara lain sebagaimana diuraikan berikut ini:
a.         R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika, dan Rohana Kuddus.
Sekalipun tinggal di daerah yang berjauhan, R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika, dan Rohana Kuddus menghadapi masalah yang relatif sama. Mereka melihat kepincangan dalam masyarakat dan ketidak adilan terhadap wanita, sehingga menghambat kemajuan kaum wanita karena adat kebiasaan yang berlaku pada saat itu. Sebab itu, baik R.A.  Kartini, Dewi Sartika, maupun Rohana Kudus memiliki cita-cita yang relatif sama pula, yaitu keinginan untuk bebas, berdiri sendiri, serta membebaskan kaum wanita (gadisgadis) Indonesia lainnya dari ketertinggalan dan ikatan adat kebiasaan. Mereka masingmasing berupaya memperjuangkan emansipasi kaum wanita demi perbaikan kedudukan dan derajat kaum wanita untuk mengejar kemajuan melalui upaya pendidikan. Upaya- upaya pendidikan yang dilakukan mereka adalah:
·         R.A. Kartini (1879-1904): Pada tahun 1903 Ia membuka “Sekolah Gadis” di Jepara, dan setelah menikah ia membukanya lagi di Rembang. Karena usianya yang relatif pendek usaha Kartini di bidang pendidikan tidak terlalu banyak, namun ia telah memberikan petunjuk jalan, melakukan rintisan pendidikan bagi kaum wanita. Cita-citanya memberikan gambaran perjuangan dan cita-cita kaum wanita Indonesia.
·         Rd. Dewi Sartika (1884-1947): Pada tahun 1904 Ia mendirikan “Sakola Isteri” (Sekolah Isteri). Murid pertamanya berjumlah 20 orang, makin lama muridnya bertambah. Pada tahun 1909 sekolah ini melepas lulusannya yang pertama dengan mendapat ijazah. Pada tahun 1912 di 9 kabupaten seluruh Pasundan telah dijumpai sekolah semacam Sekolah Isteri Dewi Sartika. Pada tahun 1914 Sekolah Isteri diganti namanya menjadi “Sakola Kautamaan Isteri” (Sekolah Keutamaan Isteri), dan pada tahun 1920 tiap-tiap kabupaten di seluruh Pasundan mempunyai Sakola Kautamaan Isteri. Adapun untuk melestarikan sekolah-sekolahnya itu dibentuk “Yayasan Dewi Sartika”.
·         Rohana Kuddus (1884- 1969): Rohana Kuddus dikenal sebagai wanita Islam yang taat pada agamanya dan sebagaimana kedua tokoh di atas ia giat sekali mempelopori emansipasi wanita. Selain sebagai pendidik, ia pun adalah wartawan wanita pertama Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan I. Djumhur dan H. Danasuparta (1976), pada tahun 1896 (pada usia 12 tahun) Rohana telah mengajarkan membaca dan menulis (huruf Arab dab Latin) kepada teman-teman gadis sekampungnya. Pada tahun 1905 ia mendirikan Sekolah Gadis di Kota Gedang. Pada tgl. 11 Februari 1911 ia memimpin Perkumpulan Wanita Minagkabau yang diberi nama “Kerajinan Amai Setia” yang kemudian dijadikan nama sekolahnya. Rohana juga berjuang menerbitkan surat kabar khusus untuk wanita. Pada tgl 10 Juli 1912 Rohana menjadi pemimpin redaksi surat kabar wanita di kota Padang yang diberi nama “Soenting Melajoe”. Kurikulum pendidikan mereka memiliki kesamaan pula, yaitu berkenaan dengan membaca, menulis, berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan kewanitaan agar mereka dapat berkarya.
b.      Budi Utomo
Pada tahun 1908 Budi Utomo dalam kongresnya yang pertama (3-4 Oktober 1908) menegaskan bahwa tujuan perkumpulan itu adalah untuk kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa Indonesia, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, dagang, teknik industri, dan kebudayaan. Untuk itu Budi Utomo pada tahun 1913 mendirikan Darmo-Woro Studiefonds; dan mendirikan tiga Sekolah Netral di Solo dan dua di Yogyakarta. Pada tahun 1918 mendirikan Kweekschool di Jawa Tengah, kemudian Sekolah Guru Kepandaian Putri untuk Sekolah Kartini, enam Normaal School, dan sepuluh Kursus Guru Desa, dsb. Pada tahun itu sekolah-sekolah Budi Utomo telah berkembang hingga jumlahnya kurang lebih mencapai 480 (H.A.R. Tilaar, 1995).
c.       Muhammadiyah
Pada tanggal 18 November 1912 K. H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi perkumpulan Muhammadiyah di Yogyakarta. Muhammadiyah dengan berbagai sekolahnya, didirikan dalam rangka memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri, untuk mengatasi kristenisasi, dan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang melaksanakan ajaran al-Qur’an dan Hadits sesuai yang diajarkan Rosululloh (Nabi Muhammad S.A.W).
Dasar/asas dan Tujuan Pendidikan. Pendidikan Muhammadiyah berasaskan Islam dan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Tujuan pendidikan Muhammadiyah adalah membentuk manusia muslim berakhlak mulia, cakap, percaya diri dan berguna bagi masyarakat. Sebagai orang muslim harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berjiwa tauhid yang murni; beribadah kepada Allah; berbakti kepada orang tua dan baik kepada kerabatnya; memiliki akhlak yang mulia dan halus perasaannya; berilmu pengetahuan dan mempunyai kecakapan; dan cakap memimpin keluarga dan masyarakat (Abu Ahmadi, 1975).
Penyelenggaraan Pendidikan. Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, di bawah pimpinan Majelis Pengajaran. Sekolah-sekolah itu di samping memberikan pendidikan agama Islam, memberikan juga berbagai mata pelajaran seperti di sekolah-sekolah Pemerintah. Usaha-usaha lain berupa perluasan pengajian-pengajian (di bawah bimbingan Majelis Tabligh), menyebarkan bacaan-bacaan agama, mendirikan mesjidmesjid, madrasah-madrasah, pesantren-pesantren, dan sebagainya.
d.      Perkumpulan Putri Mardika.
Perkumpulan Putri Mardika didirikan tahun 1912. Bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan (Odang Muchtar, 1976).
e.       Trikoro Dharmo.
Pada tahun 1915 didirikan Trikoro Dharmo, dan selanjutnya berdiri berbagai perkumpulan pemuda dan pelajar di berbagai tempat di tanah air hingga terwujudnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Berbagai organisasi pemuda dan pelajar ini bersamasama gerakan lainnya menyumbangkan jasa-jasa yang besar demi pendidikan nasional dan kemerdekaan Indonesia. “Mereka bersepakat untuk memperbanyak kesempatan memperoleh pendidikan dengan membuka sekolah-sekolah sehingga dapat menampung semakin banyak anak Indonesia, mempermudah untuk dapat mengikuti pelajaran bagi semua lapisan masyarakat, dan agar para anak didik mempunyai perasaan peka sebagai putra Indonesia” (H.A.R. Tilaar, 1995).
f.       Perguruan Taman Siswa
Pada mulanya Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) bersama rekan-rekannya berjuang di jalur politik praktis, selanjutnya mulai tahun 1921 perjuangannya difokuskan di jalur pendidikan. Hal ini Beliau lakukan mengingat Departemen Pengajaran Pemerintah Belanda bersikap diskriminatif mengenai hak dan penyelenggaraan pendidikan bagi bagsa kita. Pendidikan Kolonial tidak berdasarkan kebutuhan bangsa kita, melainkan hanya untuk memenuhi kepentingan kolonial. Isi pendidikannya tidak sesuai dengan kemajuan jiwa-raga bangsa. Pendidikan kolonial tidak dapat mengadakan perikehidupan bersama, sehingga kita selalu bergantung kepada kaum penjajah.
Pendidikan kolonial tidak dapat menjadikan kita menjadi manusia merdeka. Menurut Ki Hadjar Dewantara keadaan ini (penjajahan) tidak akan lenyap jika hanya dilawan dengan pergerakan politik saja. Melainkan harus dipentingkan penyebaran benih hidup merdeka di kalangan rakyat dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan nasional (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976). Sehubungan dengan hal di atas pada tgl. 3 Juli 1922 di Yogyakarta Ki Hadjar Dewantara mendirikan "National Onderwijs Institut
Taman Siswa" yang kemudian menjadi "Perguruan Nasional Taman Siswa". Dasar atau Azas Pendidikan. Pada pembukaan lembaga pengajaran Taman Siswa (3 Juli 1922), Ki Hadjar Dewantara mengemukakan tujuh azas pendidikannya yang kemudian dikenal dengan Azas Taman Siswa 1922. Ketujuh Azas tersebut adalah:
1)                             Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan wajib mengingat tertibnya kehidupan umum. Hendaknya tiap anak dapat berkembang menurut kodrat atau  bakatnya. Dalam mendidik, perintah dan hukuman yang kita anggap memperkosa hidup kebatinan anak hendaknya ditiadakan. Mereka hendaknya dididik melalui “Among –methode”.
2)                             Pengajaran berarti mendidik untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, melainkan harus juga mendidik murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan mengamalkannya demi kepentingan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang bermanfaat bagi kepentingan lahir dan batin dalam hidup bersama.
3)                             Pendidikan hendaknya berasaskan kebudayaan kita sendiri sebagai penunjuk jalan, untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban bangas kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan bangsa asing.
4)                             Pendidikan harus diberikan kepada seluruh rakyat umum daripada mempertinggi pengajaran kalau usaha mempertinggi ini mengurangi tersebarnya pengajaran.
5)                             Agar bebas, merdeka lahir batin, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri.
6)                             Agar hidup tetap dengan berdiri sendiri, maka segala belanja mengenai usaha kita harus dipikul sendiri dengan uang pendapatan sendiri.
7)                             Dengan tidak terikat lahir batin, serta kesucian hati, berminat kita berdekatan dengan Sang Anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada Sang Anak.
Sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Asas Taman Siswa 1922, pada tahun 1947 diubah menjadi "Panca Dharma" Taman Siswa, yaitu:
1)      Kebebasan atau Kemerdekaan,
2)      Kebudayaan,
3)      Kodrat Alam,
4)      Kebangsaan, dan
5)      Kemanusiaan.
2.      Pendidikan Zaman Pendudukan Militerisme Jepang.
Latar Belakang Sosial Budaya. Kekuasaan pemerintah kolonial Belanda berakhir ketika pada tgl. 8 Maret 1942 mereka menyerah kepada militer kerajaan Jepang. Selanjutnya bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan pendudukan militerisme Jepang selama hampir 3,5 tahun.
Jepang menyerbu Indonesia karena kekayaan negeri ini yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik dan sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Di balik itu, mereka mempropagandakan semboyan Hakko Ichiu atau semboyan “kemakmuran bersama” Asia Timur Raya. Mereka menyatakan bahwa mereka berjuang mati-matian melakukan “perang suci” (melawan sekutu) demi kemakmuran bersama Asia Timur Raya dengan Jepang sebagai pemimpinnya. Namun demikian tujuan pendudukan militer Jepang lama kelamaan menjadi penindasan. Ada dua kebijakan pemerintah pendudukan militer Jepang :
1)      menghapuskan semua pengaruh Barat di Indonesia melalui “pen-Jepang-an”, dan
2)      memobilisasi segala kekuatan dan sumber yang ada untuk mencapai kemenangan perang Asia Timur Raya.
Pendidikan. Implikasi kekuasaan pemerintahan pendudukan militer Jepang dalam bidang pendidikan di Indonesia yaitu:
1)      Tujuan dan isi pendidikan diarahkan demi kepentingan perang Asia Timur Raya. Contoh: Tiap pagi di sekolah-sekolah dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo”. Upacara pagi dilanjutkan dengan pengibaran bendera Hinomaru dan membungkuk untuk menghormat Tenno Heika. Tiap hari para siswa harus mengucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang, melakukan taiso (senam), dan diwajibkan pula melakukan kinrohoshi (kerja bakti). Selain itu, dibentuk PETA sebagai program pendidikan militer bagi para pemuda; dibentuk barisan murid-murid Sekolah Rakyat (Seinen-tai); dan barisan murid-murid Sekolah Lanjutan (Gakutotai).
2)      Hilangnya Sistem Dualisme dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang bersifat dualistis membedakan dua jenis sekolah untuk anak-anak bangsa Belanda dan anak-anak Bumi Putera dihapuskan pada zaman Jepang. Sekolah bersifat terbuka untuk seluruh lapisan anak Indonesia. Namun demikian, hanya satu jenis sekolah rendah diadakan bagi semua lapisan masyarakat, yaitu: Sekolah Rakyat 6 tahun (Kokumin Gakko). Sekolah Desa masih tetap ada dan namanya diganti menjadi Sekolah Pertama. Susunan jenjang sekolah menjadi:
a.       Sekolah Rakyat 6 tahun (termasuk Sekolah Pertama).
b.      Sekolah Menengah 3 tahun.
c.       Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun.
d.      Perguruan Tinggi.
3)      Sistem Pendidikan menjadi lebih merakyat (populis). Sebagaimana dikemukakan di atas, pada prinsipnya terjadi perubahan bahwa sekolah menjadi terbuka bagi semua lapisan masyarakat (“Demokrasi Pendidikan”). Hapusnya sistem Konkordansi dan masuknya sistem baru yang relatif lebih praktis dan terarah bagi kebutuhan masyarakat, meskipun kepraktisan tersebut lebih berarti untuk keperluan kemenangan perang Jepang. Selain itu bahasa Indonesia pertama kalinya dijadikan bahasa pengantar di sekolah dan dijadikan bahasa ilmiah, di samping tentunya bahasa Jepang. Sedangkan bahasa Belanda dilarang untuk digunakan (H.A.R. Tilaar, 1995).

C.    Pendidikan Indonesia Periode Tahun 1945-1969 Dan Masa Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Ke I: 1969-1993
1.      Pendidikan pada Periode Tahun 1945-1969
a.       Zaman Revolusi Fisik Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan UUD1945 sebagai dasar negara. Sejak saat ini jenjang dan jenis pendidikan mulai disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Contoh: Sekolah Menengah zaman Jepang (Skoto Cu Dakko dan Coto Cu Gakko) diubah menjadi SMTP dan SMTA.
Bersamaan dengan berjalannya revolusi fisik, pemerintah mulai mempersiapkan sistem pendidikan nasional sesuai amanat UUD 1945. Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) mengeluarkan “Instruksi Umum” agar para guru membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan patriotisme. Selanjutnya, diawali dengan Kongres Pendidikan, Menteri PP dan K membentuk Komisi Pendidikan dan Komisi ini membentuk Panitia Perancang Undang-Undang (RUU) mengenai pendidikan dan pengajaran.
Karena terganggu dengan pecahnya perang kolonial kedua, pembahasan RUU di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) terhenti dan baru dapat dilaksanakan kembali pada tanggal 29 Oktober 1949. Tanggal 5 April 1950 RUU tersebut diundangkan sebagai UU RI No.4 Tahun 1950 Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. UU RI No. 4 Tahun 1950 ini kemudian diterima oleh DPR pada tanggal 27 Januari 1954, kemudian disyahkan oleh pemerintah pada tanggal 12 Maret 1954 dan diundangkan tanggal 18 Maret 1954 sebagai UU No. 12 Tahun 1954 (H.A.R. Tilaar, 1995).
b.      Peletakan Dasar Pendidikan Nasional.
Pada tgl. 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. Namun setelah Konferensi Meja Bundar, tahun 1949 terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang memberlakukan UUD RIS. Pada saat RIS kembali ke negara kesatuan RI, UUD RIS diganti dengan UUD Sementara RI atau UU No. 7 Tahun 1950. Setelah Pemilu tahun 1955, karena Konstituante gagal menyusun UUD maka tgl. 5 Juli 1959 keluarlah Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia kembali kepada UUD 1945.
Sekalipun terjadi pergantian bentuk dan konstitusi negara sebagaimana diuraikan di atas, tetapi pendidikan nasional Indonesia tetap dilaksanakan sesuai jiwa UUD 1945, dan bahwa UU RI No. 4 Tahun 1950 de facto digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan untuk seluruh daerah Negara Kesatuan RI. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Piagam Persetujuan Pemerintah RIS dan Pemerintah RI tgl. 19 Mei 1950, serta sebagaimana dinyatakan dalam Pengumuman Bersama Menteri PP dan K RIS dan RI tgl. 30 Juni 1950. Selanjutnya UU pernyataan berlakunya UU tersebut di atas (RUU) diajukan kepada DPR. Pada tgl. 27 Juni 1954 DPR menerima RUU tersebut, kemudian disahkan oleh pemerintah pada tgl. 12 Maret 1954, dan diberlakukan pada tgl. 18 Maret 1954 sebagai UU RI No. 12 Tahun 1954. Di dalam Pasal 3 UU ini termaktub bahwa “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteran masyarakat dan tanah air”. Adapun Pasal 4 menyatakan:
“Pendidikan dan pengajaran berdasar asas-asas yang termaktub dalam “Panca Sila”Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”.
c.       Demokrasi Pendidikan
Sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UURI No. 4 Tahun 1950, meskipun menghadapi berbagai kesulitan, pemerintah mengusahakan terselenggaranya pendidikan yang bersifat demokratis, yaitu Kewajiban Belajar Sekolah Dasar bagi anak-anak yang berumur 8 tahun. Rencana kewajiban belajar sekolah dasar ini direncanakan selama 10 tahun (1950-1960). Pelaksanaan program ini didukung dengan PP No. 65 Tahun 1951.
Karena pelaksanaan kewajiban belajar ini menghadapi masalah kekurangan guru dan jumlah sekolah, maka berdasarkan Keputusdan Menteri Pendidikan No. 5033/F tgl. 5 Juli 1950 didirikanlah Kursus Pengajar untuk Kursus Pengantar kepada Kewajiban Belajar (KPKPKB). Pada tahun 1952 Jumlah KPKB (Kursus Pengantar Kewajiban Belajar) sebagai embrio SD atau SD Kecil telah mencapai 3.372 dengan jumlah siswa sekitar setengah juta orang. Pada saat ini demokratisasi pendidikan (kewajiban belajar) tampak sudah mulai dilaksanakan. Selanjutnya KPKPKB ditingkatkan menjadi SGB dan SGA, selain itu . didirikan pula kursus-kursus persamaan SGB dan SGA (H.A.R. Tilaar, 1995).
d.      Lahirnya LPTK pada Tingkat Universiter
Apabila dalam pelaksanaan kewajiban belajar SD telah menimbulkan KPKPKB, SGB, dan SGA, maka untuk suplai guru sekolah menengah dilaksanakan melalui PGSLP serta Kursus B I dan Kursus B II untuk guru sekolah Lanjutan Atas. Selain lembaga-lembaga tersebut beberapa lembaga yang menghasilkan tenaga kependidikan antara lain: APD (Akademi Pendidikan Jasmani), ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), Sekolah Musik Indonesia, Konservatori Karawitan, dan Fakultas Pedagogik Universitas Gajah Mada.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, maka atas dorongan Prof. Moh. Yamin pada tahun 1954 didirikanlah Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di empat tempat yaitu di Batu Sangkar, Bandung, Malang dan Tondano. Atas dasar konferensi antar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) negeri seluruh Indonesia di Malang tanggal 21 s.d. 25 Agustus 1960, maka berbagai lembaga pendidikan tenaga guru (PGSLP, Kursus BI, BII dan PTPG) diintegrasikan ke dalam FKIP pada Universitas. Selanjutnya pada tahun 1960-an didirikanlah IKIP yang berdiri sendiri sebagai perpindahan dari PTPG sesuai dengan UU PT No. 22 Tahun 1961, sekalipun demikian di beberapa Universitas FKIP tetap berdiri.
e.       Lahirnya Perguruan Tinggi
Antara tahun 1949-1961 pemerintah Indonesia telah mendirikan berbagai PT antara lain: Universitas Gajah Mada (20 November 1949), Universita Indonesia (1950), Universitas Airlangga (1954). Universitas Hasanuddin, PTPG yang kemudian menjadi IKIP (1954-1961), Universitas Andalas (1956) dan Universitas Sumatera Utara di Medan.
Pada tanggal 4 Desember 1961 lahir UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Pokok-pokok yang menonjol dalam UU ini yang sampai sekarang masih dipertahankan adalah prinsip Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
f.       Era Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969
Pidato Presiden RI tgl. 17 Agustus 1959 sebagai penjelasan resmi tentang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol). Melalui TAP MPRS-RI No. I/MPRS/1960 Manifesto Politik tersebut ditetapkan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan berdasarkan TAP tersebut dikeluarkan pula TAP MPRS-RI No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969. Di dalam TAP tersebut antara lain dikatakan bahwa pembangunan semesta berencana tahap pertama ini merupakan pembangunan dalam masa peralihan menuju masyarakat adil dan makmur, demikian pula pembangunan tersebut sifatnya menyeluruh. Dasar-dasar pembangunan tersebut ialah Pancasila dan Manipol serta untuk mengembangkan kepribadian Indonesia. Dalam era ini Manipol dijadikan doktrin negara, dan dalam perkembangan selanjutnya, intisari Manipol dirangkumkan dengan kependekan USDEK, yaitu Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Manipol USDEK secara sistematis diindoktrinasikan kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk di semua jenjang dan jenis pendidikan.
Dalam TAP-TAP MPRS di atas ada beberapa hal yang menarik perhatian, antara lain bahwa:
(1)                              untuk mengembangkan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia, maka pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing harus ditolak;
(2)                              Pancasila dan Manipol dijadikan mata pelajaran di perguruan rendah sampai dengan perguruan tinggi;
(3)                              pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas negeri dengan pengertian bahwa para siswa/mahasiswa berhak untuk tidak ikut serta, apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatannya.
Rumusan ini jelas merupakan rumusan yang dimasukan oleh golongan politik tertentu. Jelas-jelas rumusan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila (H.A.R. Tilaar, 1995).
Setelah Presiden menyatakan Dekrit 5 Juli 1959, salah satu usaha menyesuaikan pendidikan nasional dengan pekembangan politik pada masa itu, maka atas dasar Instruksi Menteri Muda Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 1 tanggal 17 Agustus 1959 di keluarkan apa yang disebut Sapta Usaha Tama. Sebagai pelaksanaan instruksi di atas, di dalam Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 2 tanggal 17 Agustus 1961 dirumuskan sebagai berikut: 1) Menegaskan Pancasila dengan Manipol sebagai pelengkapnya, sebagai asas pendidikan nasional. 2) Menetapkan Pantja Wardhana. Selain itu diselenggarakan pula apa yang disebut dengan Hari Krida. Dalam rangka menyesuaikan segala usaha untuk mewujudkan Manipol, melalui Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965 pendidikan nasional dipandang sebagai sarana yang maha penting, fungsi pendidikan nasional dipandang sebagai alat revolusi.
Pendidikan harus difungsikan atau harus memiliki Lima Dharma Bhakti Pendidikan, yaitu:
(1)      Membina Manusia Indonesia Baru yang berakhlak tinggi (Moral Pancasila);
(2)      Memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam segenap bidang dan tingkatnya (manpower);
(3)      Memajukan dan mengembangkan kebudayaan nasional;
(4)      Memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
(5)      Menggerakan dan menyadarkan seluruh kekuatan rakyat untuk membangun masyarakat dan manusia Indonesia Baru.
Selanjutnya dinyatakan bahwa asas pendidikan nasional adalah Pancasila – Manipol USDEK. Dengan demikian tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan warga negara-warga negara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan berjiwa Pancasila. Dalam hal ini, moral pendidikan nasional ialah Pancasila Manipol/USDEK, dan politik pendidikannya adalah Manifesto Politik. Selanjutnya melalui Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila antara lain dirumuskan kembali mengenai dasar asas pendidikan nasional, tujuan, isi moral, dan politik nasional. Yang menarik dalam rumusan-rumusan tersebut ditegaskan sekali lagi bahwa tugas pendidikan nasional Indonesia ialah menghimpun kekuatan progresif revolusioner berporoskan Nasakom.
Banyak program pembangunan yang telah direncanakan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama (1961-1969). Rencana proyek pembangunan di bidang pendidikan antara lain berkenaan pengembangan pendidikan tinggi, diprioritaskannya pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, kursus-kursus, dsb. Namun demikian akibat pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI, maka rontoklah rencana pembangunan nasional semesta berencana tersebut.
Setelah pemberontakan G. 30 S/PKI dapat ditumpas, terjadi suatu keadaan peralihan masyarakat Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru. Dalam menegakkan Orde Baru ini terlibat secara aktif golongan intelektual yang dikenal sebagai KAMI dan KAPPI yang menggelorakan Tri Tura. Khususnya dalam bidang pendidikan, pada masa ini prinsip pendidikan Pantja Wardhana kemudian disusul dengan sistem pendidikan nasional Pancasila. Hal ini sebagaimana isi Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa sistem pendidikan haruslah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuannya ialah membentuk manusia Pancasilais sejati. Isi pendidikannya ialah untuk mempertinggi moral, akhlak dan keyakinan agama, mempertinggi keterampilan dan kecerdasan, dan mempertinggi mutu kesehatan fisik manusia. Hal tersebut diperkuat lagi dengan Tap MPRS RI No. XXXIV/MPRS/1967 tentang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara. Selanjutnya, melalui TAP MPR-RI No.
V/MPR/1973 tentang Pencabutan produk-produk yang berupa ketetapan-ketetapan MPRS-RI menyatakan tidak berlaku lagi dan mencabut TAP I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, juncto TAP XXXIV/MPRS/67 tentang peninjauan kembali ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN (H.A.R. Tilar, 1995).
2.      Pendidikan Pada Masa PJP I
Pelaksanaan Pelita I PJP I dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada tgl. 28-30 April 1969 pemerintah c.q. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung untuk melakukan konferensi dalam rangka:
1)        mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional, dan
2)        menyusun suatu prioritas pemecahan dari berbagai masalah tersebut, serta mencari alternatif pemecahannya.
Salah satu hasil konferensi Cipayung itu ialah lahirnya Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) pada tgl. 1 Mei 1969 melalui SK Mendikbud tgl. 26 Mei 1969. Isi SK tersebut ialah bahwa dalam jangka waktu dua tahun (kemudian diubah menjadi tiga tahun) PPNP harus sudah berhasil menyusun strategi pendidikan nasional. Hasil kerja PPNP dimanfaatkan oleh Badan Pengembangan Pendidikan atau BPP (Sekarang BALITBANG) Depdikbud yang didirikan melalui Keputusan Presiden No. 84/1969 tgl. 18 Oktober 1969. Hasil kerja PPNP dijadikan dasar perencanaan pendidikan yang lebih baik untuk Pelita II serta telah meletakan dasar-dasar perencanaan pendidikan untuk Pelita-Pelita selanjutnya. Dengan hasil kerja PPNP inilah pembangunan pendidikan untuk PJP I mulai dimantapkan.
Di dalam rumusan-rumusan kebijakan pokok pembangunan pendidikan selama PJP I terdapat beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu:
1)      relevansi pendidikan,
2)      pemerataan pendidikan,
3)      peningkatan mutu guru atau tenaga kependidikan, \
4)      mutu pendidikan, dan
5)      pendidikan kejuruan.
Selain kebijakan pokok tersebut terdapat pula beberapa kebijakan yang perlu mendapat perhatian kita. Pertama, kebijakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam bidang pendidikan. Kedua, pengembangan sistem pendidikan yang efisien dan efektif. Ketiga, dirumuskan dan disyahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” sebagai pengganti UU pendidikan lama yang telah diundangkan sejak tahun 1950.
Tujuan Pendidikan Nasional. Sesuai dengan Tap MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, maka dirumuskan bahwa Tujuan Pendidikan adalah untuk membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Selanjutnya dalam UU No. 2 Tahun 1989 ditegaskan lagi bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kurikulum Pendidikan. Dalam PJP I telah dilakukan tiga kali perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu apa yang dikenal sebagai: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984. Di dalam kurikulum 1968 dirumuskan bahwa tujuan pendidikan ialah membentuk manusia Pancasilais sejati. Isi pendidikannya ialah untuk mempertinggi moral, akhlak dan keyakinan agama, mempertinggi keterampilan dan kecerdasan, dan mempertinggi mutu kesehatan fisik yang kuat. Namun demikian, salah satu ciri utama kurikulum 1968 ini yaitu organisasi kurikulumnya masih berorientasi kepada bahan/mata pelajaran.
Dengan mengacu kepada Tap MPR No. II/MPR/1973 tentang GBHN dan dengan menampung berbagai hasil percobaan dalam bidang pendidikan waktu itu, maka kurikulum 1968 diperbaharui dengan kurikulum 1975. Kurikulum 1975 dikembangkan dengan menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang selanjutnya dijabarkan ke dalam Satuan Pelajaran atau Modul. Ciri utama kurikulum 1975 yaitu organisasi kurikulumnya yang berorientasi kepada tujuan pendidikan, menekankan CBSA dan konsep belajar tuntas. Memang dalam pelaksanaan kurikulum 1975 ini hierarkhi tujuan pendidikan menjadi jelas, namun demikian kurikulum ini masih bersifat sentralistik.
Dengan lahirnya Tap MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN, dan berbagai masukan dari Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional (KPPN), Kurikulum 1975 diperbaharui lagi dengan Kurikulum 1984. Hasil percobaan di Cianjur tentang CBSA lebih memantapkan penyusunan kurikulum tersebut. Pada tingkat SMA, kurikulum ini terdiri atas Program Inti dan Program Pilihan. Juga dibedakan antara Program A untuk jalur akademik dan Program B untuk siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi sehingga memperoleh program-program latihan kekaryaan. Sayang sekali kurikulum ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya, seperti program B tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan tenaga maupun biayanya. Selain itu Kurikulum 1984 juga masih bersifat sentralistik. Contoh kekurangan tenaga antara lain ditunjukkan oleh hasil penelitian Konsorsium Ilmu Pendidikan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajarkan mata pelajaran di luar bidang keahliannya. Demikian pula bahwa kurikulum tersebut tidak didesiminasikan ke LPTK-LPTK sehingga calon-calon guru tidak mengetahui apa sebenarnya isi kurikulum 1984.
Kurikulum Pendidikan Kejuruan. Dalam Pelita I selain penyempurnaan sistem sekolah kejuruan, juga ditingkatkan mutu pendidikannya terutama mutu guru dan laboratoriumnya. Dengan dana pinjaman Bank Dunia diadakan berbagai usaha untuk meningkatkan pendidikan teknik menengah. Beberapa STM ditingkatkan, juga membangun apa yang disebut Sekolah Teknik Menengah Pembangunan, diadakan bengkel-bengkel latihan pusat yang dapat digunakan beberapa STM termasuk STM swasta. Usaha perbaikan kurikulum terus menerus, baik melalui dana pinjaman dari ADB (Asian Development Bank), juga bantun teknis dari negara-negara sahabat, seperti Australia, Swisss, dan Austria. Memang dengan usaha-usaha itu beberapa STM atau pusat pelatihan tenaga teknik seperti yang ada di Bandung dengan bantuan pemerintah Australia telah dapat menjembatani hubungan antara kurikulum STM atau pusat pelatihan guru teknik dengan dunia industri yang berada di sekitarnya. Namun berbagai usaha tersebut secara keseluruhan belum dapat memenuhi kebutuhan baik mengenai jumlah sekolah kejuruan maupun mutunya. Kurikulum sekolah kejuruan masih terasa masih terlalu banyak mata pelajaran teorinya dan masih terbatas latihan-latihan prakteknya yang justru sangat diperlukan. Peningkatan mutu kurikulum sekolah kejuruan tersebut mengalami kesulitan antara lain juga karena dunia industri kita pada saat itu masih belum menyadari pentingnya kaitan antara sekolah kejuruan dengan sekolah kerja (H.A.R. Tilaar, 1995).
Kurikulum Pendidikan Tinggi (PT). Usaha-usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan tingi termasuk kurikulumnya juga telah dilaksanakan selama PJP I. Salah satu usahanya adalah dengan mengganti sistem kontinental dengan sistem anglo saxis, yaitu dengan penerapan sistem kredit semester (Sistem SKS) pada pertengahan tahun  1970-an. Maksudnya adalah untuk meningkatkan efisiensi internal dari PT yang pada saat itu memang sangat rendah. Selain Sistem SKS, juga mata-mata kuliah yang diajarkan dikaji dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Dalam rangka inilah dibentuk apa yang disebut konsorsium perguruan tinggi menurut program studi yang disajikan di PT.
Sarana, Prasarana Pendidikan. Perkembangan pendidikan di Indonesia selama PJP I secara kuantitatif merupakan fenomena yang menakjubkan, bukan hanya bagi kita sendiri tetapi juga bagi dunia luar. Secara akumulatif pertumbuhan rata-rata siswa SD selama PJP I sekitar 50% pertahun, SLTP 150%, SLA 220%, dan Perguruan Tingi (PT) 320%. Angka partisipasi kasar SD dari 64% pada permulaan PJP I menjadi 99,7% pada akhir PJP I; SMTP dari 16,9% menjadi 66,7%; SMTA dari 8,6% menjadi 45,1%; dan PT dari 1% menjadi 11% (H.A.R. Tilaar,1995)..
Pertumbuhan jumlah siswa/mahasiswa di berbagai jenjang dan jenis pendidikan tersebut tentu saja disertai pula dengan penambahan prasarana dan sarana pendidikan. Antara lain: gedung-gedung sekolah baru, penambahan ruang belajar, buku-buku pelajaran, pengadaan sarana-sarana pembantu proses belajar-mengajar, pembangunan sarana fisik Perguruan Tinggi, dan pembangunan sarana pendidikan dasar melalui Inpres Pembangunan SD. Prasarana dan sarana pendidikan memang telah banyak dibangun selama PJP I, namun demikian pengadan prasarana dan sarana pendidikan tersebut ternyata masih belum dapat memenuhi kebutuhan.
Wajib Belajar. Melalui program pembangunan di atas, dan dengan dicanangkannya Wajib Belajar Sekolah Dasar sejak tanggal 2 Mei 1984, maka pada akhir Pelita II kesempatan belajar anak-anak usia 7-12 tahun praktis telah dicapai, walaupun tentunya masih terdapat sejumlah anak-anak yang hidup terpencil, anak-anak luar biasa, maupun putus sekolah yang masih harus dituntaskan di dalam pembangunan selanjutnya (pada tahun 1988/1989 atau akhir Pelita IV angka partisipasi SD telah mencapai 99,6% dari jumlah anak usia 7-12 tahun yaitu 30.182.900 anak). Wajib Belajar SD Enam Tahun pada Pelita V telah diperluas dengan perintisan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Sebab itulah UNESCO pada tahun 1994 menganugerahkan Bintang Aviciena kepada Presiden Republik Indonesia sebagai pengakuan peranan pemerintah Indonesia dalam memajukan pendidikan rakyat (H.A.R. Tilaar, 1995).
Tenaga Kependidikan dan Lembaga PendidikanTenaga Kependidikan (LPTK). Berkenaan dengan hal ini dalam PJP I antara lain terdapat dua masalah pokok, yaitu:  kekurangan tenaga pengajar yang berwenang pada semua jenis dan tingkat pendidikan, dan 2) masalah peningkatan mutu Tenaga Kependidikan dan LPTK.
1)                              Kekurangan tenaga pengajar yang berwenang pada semua jenis dan tingkat  pendidikan.
Pada tahun 1989/1990 untuk SD terdapat kekurangan tenaga hampir 600.000 orang. Ditambah lagi dengan kulaifikasi guru SD banyak yang belum memenuhi persyaratan. Untuk SLTP dan SLTA masalahnya berlainan, walaupun secara makro terdapat kelebihan guru, tetapi dalam kenyataannya terdapat kekurangan guru yang parah karena memusatnya para guru di kota-kota. Selain itu banyak mata pelajaran yang tenaga gurunya tidak mencukupi. Yang sangat kekurangan adalah guru-guru IPA dan Matematika. Sekitar 40% guru matematika di SMP sebenarnya berlatar belakang sebagai guru agama, sosiologi, antropologi dan ilmu sosial lainnya. Sekita 30% guru SMA mengajar mata pelajaran yang bukan kemampuan/keahliannya. Mengenai ijazah tertinggi yang dimiliki para guru SMP Negeri: 8,3% dari 204.125 orang guru SMP Negeri belum lulus SLTA, separohnya memiliki ijazah PGSLP atau D1, 17,1% berijazah PGSLP atau D2, dan hanya 24,2 % berijazah Sarjana Muda atau S1. Selanjutnya di SMA Negeri dan Swasta terdapat 4,5% guru belum tamat SLTA, 3,6% berijazah PGSLP atau D1, 58,4% berijazah PGSLA atau D3, dan sisanya 33,5% berijazah sarjana muda atau S1.
Pada tahun 1989 dari sekitar 11 ribu dosen pada 30 IKIP dan FIP Negeri baru 3% berkualifikasi S3, 10% S2 dan 87% berkualifikasi S1. Keadaan ini tentu saja mempengaruhi usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan. Masalah pemenuhan kekurangan tenaga kependidikan yang berwenang terhambat bukan hanya karena penyebaran yang tidakmerata tetapi juga karena masalah dana yang tidak mencukupi.
2)                              Masalah peningkatan mutu Tenaga Kependidikan dan LPTK.
Dalam PJP I telah diambil keputusan untuk meningkatkan kualifikasi guru SD dengan Diploma I dan II, guru SMP dengan D III dan untuk SMA semakin lama semakin dipegang oleh lulusan S1. Berkenaan dengan hal di atas, telah dilakukan pula pembaharuan dalam bentuk likuidasi SPG dan SGO menjadi Program DII Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Untuk PT telah didirikan berbagi Program Pascasarjana (S2, S3) dengan tujuan utama untuk meningkatkan mutu para dosen PT. Bea siswa dari dalam dan luar negeri telah lama dilaksanakan, demikian pula telah didirikan beberapa Pusat Antar Universitas (PAU atau inter-university center). Selain itu untuk meningkatkan ilmu pendidikan telah didirikan Konsorsium Ilmu Pendidikan (H.A.R. Tilaar, 1995).
Pendidikan Kejuruan, Pelatihan dan Ketenagakerjaan. Konsep keterkaitan antara pendidikan nasional dan dunia kerja yang telah dirintis sejak Pelita I dalam pelaksanaannya pada Pelita-Pelita berikutnya mengalami berbagai hambatan. Setiap sektor termasuk sektor pendidikan dan tenaga kerja masing-masing berjalan sendiri sendiri.Akibatnya terjadilah ketidakserasian antara output sistem pendidikan nasional dengan kebutuhan tenaga kerja (muncul masalah relevansi atau masalah link and match).
Sistem pendidikan telah menghasilkan tenaga terdidik tetapi tidak terampil, sehingga pengangguran makin lama semakin besar jumlahnya.  Pada PJP I kualitas manusia Indonesia memang meningkat, termasuk pula pendidikannya. Contoh: antara tahun 1971-1990 penduduk yang tidak berpendidikan berkurang dari 42,5% menjadi 18,9%. Pada Tahun 1971 penduduk yang tamat SD baru 21,6%, sedangkan tahun 1990 menjadi 30,1%. Begitu pula untuk tingkat SLTP dan SLTA naik lebih dari 300% dan untuk tingkat PT menjadi hampir lima kali lipat.
Naiknya tingkat pendidikan manusia Indonesia berpengaruh terhadap latar belakang pendidikan tenaga kerja kita. Makin tinggi latar belakang pendidikan tenaga kerja diharapkan akan semakin tinggi pula produktivitasnya. Namun demikian, pada tahun 1990 tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia adalah terendah di ASEAN. Selain itu apabila pada tahun 1971 terdapat 840.000 orang penganggur, maka pada tahun 1990 meningkat tiga kali lipat yaitu hampir mencapai 2,5 juta orang penganggur. Memang tercatat pula bahwa jumlah penduduk yang bekerja juga meningkat, yaitu jika pada tahun 1971 baru sekitar 40 juta, maka pada tahun 1990 menjadi 72 juta. Keadaan di atas menunjukkan adanya masalah relevansi dan atau kurangnya keterkaitan dan kesepadanan antara output pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja. Contohnya: terdapat kelebihan lulusan SLTA kejuruan, tetapi sebenarnya di lapangan terdapat kekurangan yang besar mengenai tenaga-tenaga tamatan SLTA Kejuran Teknik.
Terdapat pula masalah koordinasi mengenai pendidikan kejuruan, pelatihan dan ketenagakerjaan ini, yaitu simpang siurnya mengenai tanggung jawab pembinaan pendidikan menurut Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974 (mengenai tugas Menteri Pendidikan, Menteri Tenaga Kerja, dan Ketua LAN) dengan PP No. 73 Tahun 1991 yang mengacu pada UU RI No. 2 Tahun 1989 yang mengatur tentang Pendidikan Luar Sekolah yang juga mengatur tugas PLS yang mencakup berbagai jenis pelatihan (kursus).
Selain hal di atas, masih dirasakan perlunya peningkatan partisipasi masyarakat (industri, dsb) dalam rangka pendidikan dan pelatihan (H.A.R. Tilaar, 1995). Pendidikan Tinggi. Selama PJP I pemerintah telah melakukan upaya peningkatan pemerataan pendidikan tinggi, yaitu melalui pembangunan sarana fisik PTN-PTN serta sarana penunjang lainnya dengan menggunakan “strategi bertahap bergilir”. Dalam peningkatan pemerataan PT ini partisipasi PTS begitu besar. Tercatat data bahwa pada tahun 1993/1994 jumlah PTN hanya 51, sedangkan PTS berjumlah 1035. Upaya-upaya itu telah memperbesar angka partisipasi pendidikan tinggi. Jika pada tahun 1968 tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 1,6% (156.000 orang), maka pada akhir PJP I menjadi 11% (2.491.100 orang).
Peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi memang cukup menggembirakan, sekalipun jika dibandingkan dengan di negara lain masih jauh tertinggal. Namun demikian relevansi dan mutu pendidikan tinggi masih perlu terus ditingkatkan. Contoh: di satu pihak terdapat kelebihan produksi sarjana, di pihak lain terdapat kekurangan tenaga-tenaga sarjana dalam bidang-bidang tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah kurikulum PT tersebut. Komposisi jenis-jenis program studi yang ada menunjukkan bahwa program studi ilmu sosial dan ilmu pendidikan/keguruan lebih banyak disbanding dengan program studi lainnya. Pengangguran sarjana menunjukkan lebih besar pada kedua jenis program studi tersebut.
Mutu pendidikan tinggi kita memang bervariasi mulai dari mutu yang paling tinggi sampai dengan yang sangat diragukan. Hal ini ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: mutu dosennya yang kebanyakan masih berkualifikasi S1, belum cukup tersedianya sarana penunjang seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, serta biaya operasional yang belum memadai. Selain itu juga kualitas raw input ke PT yang berlatarbelakang NEM antara 4-6 (H.A.R. Tilaar, 1995).
Inovasi Pendidikan. Selama PJP I dan sudah sejak Pelita I keinginan untuk melakukan inovasi pendidikan sangat besar. Bahkan sejak sebelum Pelita I dimulai telah dilakukan upaya-upaya untuk melakukan identifikasi masalah-masalah pendidikan agar dapat dilakukan usaha-usaha peningkatan sistem dan peningkatan mutu pendidikan nasional. Selain berkenaan dengan tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, sarana/prasarana pendidikan dan wajib belajar, pelaksanaan beberapa inovasi pendidikan selama PJP I yaitu: Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), Proyek Pamong, Proyek CBSA, STEPPES, COPLANER, dan Primary Education Quality Improvement Project (PEQIP).
Sayang sekali berbagai inovasi pendidikan yang telah dilaksanakan banyak menghadapi kemandegan dan tidak berkelanjutan (HAR Tilaar ,1995). Pembiayaan. Sumber dana pembangunan pendidikan pada PJP I berasal dari dana rupiah dan dana yang diperoleh dari kerja sama luar negeri. Di dalam pembiayaan pendidikan terdapat berbagai sumber yaitu: 1) Pemerintah yang dapat berupa biaya rutin, biaya pembangunan, biaya INPRES SD, dan subsidi batuan pembangunan pendidikan (SBPP). 2) Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). 3) Sumbangan untuk badan pembantu pembinaan pendidikan (BP3).
Jumlah dana pembangunan untuk sektor pendidikan pada Pelita I sebesar 83,8 milyar rupiah (6,8% dari jumlah dana pembangunan) , adapun pada Pelita V meningkat menjadi 9 trilyun rupiah (11,4% dari jumlah dana pembangunan). Jadi jumlah dana pembangunan sektor pendidikan selama PJP I mencapai 20 trilyun rupiah. Dana sektor pendidikan ini belum lagi ditambah dari dana rutin, SPP, dll.
Kualitas Pendidikan. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu selama PJP I telah banyak upaya pembangunan di bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional. HAR Tilaar (1995) menunjukkan kualitas pendidikan pada PJP I antara lain dengan indikator sebagai berikut:
1)        Dana Pendidikan (Pendidikan Dasar): Belum memadainya dana yang tersedia untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pada tahun 1991 unit cost untu siswa SD tidak lebih dari 5 US $, sedangkan negara maju menyediakan 105,5 US $.
2)        Kelulusan SD: Persentase jumlah siswa yang menamatkan SD pada tahun 1989 sekitar 70%, sedangkan di negara maju mencapai 91%. Data ini menunjukkan pula bahwa SD kita pada saat itu mengalamai ketidak efisienan dengan data rasio input-output sebesar 70%, sehingga rata-rata waktu yang diperlukan untuk menamatkan SD adalah 8,5 tahun.
3)        Prestasi membaca komprehensif juga dinilai sangat kurang dibanding dengan di negara maju.
4)        Daya Serap terhadap isi kurikulum: Rata-rata hasil EBTANAS Murni siswa SMA pada tahun 1987-1990 menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan kita.
Misalnya untuk mata pelajaran PMP dan Bahasa Indonesia rata-ratanya 6; sedangkan B. Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia antara 4-5. Artinya  daya serap lulusan SMA kurang dari 50% dari apa yang ditentukan dalam Kurikulum 1984.
Selain hal di atas, kita juga mengetahui bahwa jumlah pengangguran semakin meningkat. Apabila tahun 1971 tercatat 840.000 orang, maka pada tahun 1990 menjadi hampir 2,5 juta orang. Pengangguran itu pun adalah banyak dari lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Di satu pihak terdapat kelebihan lulusan SLTA dan PT, di lain pihak terdapat kekurangan tenaga-tenaga tertentu dari lulusan SLTA dan PT tersebut.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Zaman Purba. Kebudayaan zaman ini dikenal sebagai paleolitik dan neolitik, masyarakat tidak memiliki stratifikasi sosial yang tegas (egaliter), adapun kepercayaan yang dianut adalah animisme dan dinamisme. Implikasinya, pendidikan bertujuan agar generasi muda dapat mencari nafkah, membela diri, hidup bermasyarakat, dan taat terhadap adat dan nilai-nilai religi. Saat ini pendidikan berlangsung di dalam keluarga dan kehidupan masyarakat secara alamiah (belum berlangsung secara formal).
Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada awalnya (1596)bangsa Belanda datang ke Indonesia untuk berdagang, mereka mendirikan VOC (1602). Selain berusaha menguasai daerah untuk berdagang, juga untuk menyebarkan agama Protestan. Sejak  tahun 1800-1942 negeri kita menjadi jajahan Pemerintah Kolonial Belanda. Karaketristik kondisi sosial budaya pada zaman ini antara lain: (1) berlangsungnya penjajahan, kolonialisme; (2) dalam bidang ekonomi berlangsung monopoli perdagangan hasil pertanian yang dibutuhkan dan laku di pasar dunia; (3) terdapat stratifikasi sosial berdasarkan ras atau suku bangsa.
Bangsa Indonesia terus berjuang melawan penjajahan Belanda, perlawanan dan pemberontakan dilakukan oleh berbagai kelompok bangsa kita di berbagai daerah di tanah air. Penjajahan yang telah berlangsung lama benar-benar telah mengungkung kemajuan bangsa Indonesia, dan mengakibatkan kemelaratan serta kebodohan. Dengan semakin sadarnya bangsa Indonesia akan makna nasionalisme dan kemerdekaan, pada  awal abad ke-20 (sejak kebangkitan nasional tahun 1908) lahirlah berbagai pergerakan. Pergerakan nasional berlangsung dalam jalur politik maupun pendidikan.
Pendidikan oleh Kaum Pergerakan Nasional. Faktor intern yang menimbulkan pergerakan kebangsaan (pergerakan nasional) antara lain adalah: 1) Penderitaan dan berbagai kondisi yang merugikan bangsa Indonesia akibat kebijakan pemerintah kolonial Belanda telah menimbulkan rasa senasib sepenanggungan sebagai bangsa yang dijajah sehingga muncul rasa kebangsaan/nasionalisme. 2) Kebesaran masa lampau bangsa kita juga memperkuat rasa harga diri sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka. 3) Kaum terpelajar di kalangan bangsa kita terdorong untuk berperan menjadi motor pergerakan. 4) Bahasa melayu yang merupakan bahasa kesatuan makin menyadarkan bahwa bangsa Indonesia adalah satu bangsa. 5) Karena mayoritas bangsa Indonesia memeluk agama Islam, maka timbul persepsi bahwa Belanda adalah Kafir.
Pendidikan Zaman Pendudukan Militerisme Jepang. Sesuai kondisi politik saat ini, tujuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah Pendudukan Jepang diarahkan demi kepentingan memenangkan Perang Asia Timur Raya bagi Jepang. Karakteristik pendidikannya adalah: 1) hilangnya sistem dualisme pendidikan, 2) kesempatan untuk sekolah terbuka bagi setiap lapisan masyarakat, 3) susunan jenjang sekolah menjadi SR 6 Th., SM 3 Th., SMT 3 Th., dan PT., 4) hilangnya sistem konkordansi 5) bahasa Indonesia untuk pertama kalinya dijadikan bahasa pengantar, sedangkan bahasa Belanda dilarang sebagai bahasa pengantar di sekolah.
Periode 1945-1969. Pada tgl. 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai  konstitusi  Negara.    Sejak  saat  itu  jenjang  dan  jenis  pendidikan  disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Sekalipun pada tahun 1949 terjadi perubahan dasar negara  yaitu  dengan  UUD  RIS,  tetapi  pendidikan  nasional  tetap  dilaksanakan  sesuai amanat UUD 1945. Sejak tahun 1950 bangsa Indonesia telah mempunyai UU RI No. 4 Tahun 1950 tentang “Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah” yuncto UU RI No. 12 Tahun 1954. Di dalam Pasal 3 UU ini termaktub bahwa “Tujuan pendidikan dan pengajaran  ialah  membentuk  manusia  susila  yang  cakap  dan  warga  negara  yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteran masyarakat dan tanah air”. Adapun Pasal 4 menyatakan: “Pendidikan dan pengajaran berdasar asas-asas yang termaktub dalam “Panca Sila” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”.
Era PJP  I (1969-1993).  Sejak  zaman  Orde  Baru  dan dalam  era PJP  I dasar pendidikan   dikembalikan   kepada   Pancasila   dan   UUD   1945.   Pendidikan   nasional ditujukan  untuk membentuk  manusia  Pancasilais  sejati berdasarkan  Pembukaan  UUD 1945 dan Isi UUD 1945, yang kemudian di dalam UU No. 2 Tahun 1989 ditegaskan lagi bahwa     pendidikan  nasional  bertujuan  untuk  mencerdaskan  kehidupan  bangsa  dan  mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Sejak awal Pelita I PJP I  telah dilakukan identifikasi masalah-masalah pendidikan nasional, selanjutnya pembangunan pendidikan dilakukan secara bersinambungan pada setiap Pelita. Selama PJP I telah dilakukan tiga kali   pembaharuan   kurikulum   sekolah,   yaitu   kurikulum   1968,   1975   dan   1984; penambahan dan perbaikan sarana maupun prasarana pendidikan; Inpres SD; Upaya peningkatan   jumlah dan mutu tenaga kependidikan; serta dilakukan berbagai   inovasi pendidikan lainnya demi meningkatkan  partisipasi, relevansi, efisiensi, efektivitas dan mutu pendidikan  nasional. 
Untuk itu, pembangunan  pendidikan  dibiayai  baik dengan menggunakan dana rupiah maupun dana hasil kerjasama luar negeri. Memang banyak hasil pembangunan pendidikan selama PJP I yang telah di raih, namun demikian permasalahan pendidikan masih tetap belum terpecahkan secara keseluruhan dan masih harus terus diupayakan melalui pembangunan pendidikan pada PJP selanjutnya.














DAFTAR PUSTAKA

Djumhur, I dan Danasuparta, (1976), Sejarah Pendidikan, CV. Ilmu, Bandung.
Ibrahim,  Thalib  (Penyadur),   (1978),  Pendidikan   Mohd.  Sjafei  INS  Kayu  Tanam,     Mahabudi, Jakarta.
Majelis Luhur Persatuan Taman siswa, (1977), Karya Ki Hadjar Dewantara,  Bagian Pertama:       Pendidikan, Majelis Luhur Taman Siswa, Yogyakarta.
Muchtar,   O.,   (1976),   Pendidikan   Nasional   Indonesia,   Pengertian   dan        sejarahPerkembangan, Balai Penelitian Pendidikan IKIP Bandung.
Poerbakawatja, S., (1970), Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Gunung Agung, Jakarta.
Soejono, Ag., (1979), Aliran-Aliran Baru dalam Pendidikan; Bagian ke-2, CV. Ilmu, Bandung.
Suhendi, Idit, (1997), Dasar-Dasar Historis dan Sosiologis Pendidikan, dalam Dasar- Dasar          Kependidikan, IKIP Bandung.
Tilaar, HAR., (1995), 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995, Suatu
Analisis Kebijakan, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Tirtarahardja, U. dan La Sula (1995), Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.

No comments:

Post a Comment