BAB I
Pendahuluan
A.
Pendahuluan
Pendidikan nasional Indonesia
dewasa ini terpaut dengan praktik-praktik pendidikan pada masa lalu, dan
sekaligus mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang
telah ditetapkan. Terdapat berbagai pengetahuan dan nilai sejarah dalam praktik
pendidikan bangsa kita di masa lalu, yang dapat kita ambil hikmahnya demi
pembangunan pendidikan di masa sekarang dan di masa depan. Sebab itu, sejarah
pendidikan nasional tersebut perlu Anda pelajari. BBM ini akan membantu Anda
untuk memahami pendidikan di Indonesia sejak zaman Purba hingga zaman kolonial
Belanda; pendidikan di Indonesia pada zaman pergerakan kebangsaan (pergerakan
nasional) dan zaman Pendudukan Militerisme Jepang; serta pendidikan pada zaman
kemerdekaan hingga era pembangunan jangka panjang pertama (PJP I). Semua ini
tentunya akan memperluas wawasan kependidikan Anda, dan dapat dijadikan sebagai
salah satu acuan dalam berpartisipasi membangun pendidikan nasional.
Materi BBM ini terdiri atas
tiga sub pokok bahasan. Sub pokok bahasan pertama mencakup sejarah pendidikan
di Indonesia pada zaman Purba, zaman Kerajan Hindu- Budha, zaman Kerajaan
Islam, zaman pengaruh Portugis dan Spanyol, serta zaman Kolonial Belanda. Sub
pokok bahasan kedua mecakup sejarah pendidikan yang diselenggarakan oleh Kaum
Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional) dan pemerintah Pendudukan Jepang.
Adapun sub pokok bahasan ketiga mencakup sejarah pendidikan pada periode tahun
1945-1969 dan pada era Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I.
Setelah mempelajari BBM ini,
Anda diharapkan dapat mendeskripsikan sejarah pendidikan di Indonesia. Demi
mencapai tujuan itu, Anda perlu dapat melakukan hal-hal berikut:
1.
Menjelaskan
pendidikan pada zaman Purba.
2.
Menjelaskan
pendidikan pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
3.
Menjelaskan
pendidikan Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional).
4.
Menjelaskan
pendidikan zaman pendudukan Militerisme Jepang.
5.
8.
Menjelaskan pendidikan pada periode tahun 1945-1969.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan Pada Zaman Purba Hingga Zaman
Pemerintahan Kolonial Belanda
Kegiatan belajar ini
menyajikan sejarah pendidikan Indonesia pada zaman Purba hingga zaman
Pemerintahan Kolonial Belanda. Kajian sejarah pendidikan ini meliputi dua hal
pokok, yaitu latar belakang sosial budayanya dan implikasinya terhadap pendidikan.
Dengan demikian, melalui kegiatan belajar ini Anda akan dapat menjelaskan kondisi
pendidikan di Indonesia pada zaman Purba, zaman kerajaan Hindu/Budha, zaman kerajaan
Islam, zaman pengaruh Portugis dan Spanyol, dan pada zaman Pemerintahan Kolonial
Belanda yang turut mewarnai perkembangan pendidikan di Indonesia pada zaman
berikutnya hingga dewasa ini.
1.
Zaman Purba.
Latar
Belakang Sosial Budaya. Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan, kebudayaan
yang berkembang dalam masyarakat nenek moyang bangsa Indonesia pada zaman Purba
disebut kebudayaan paleolitik. Adapun kebudayaan pada kurang lebih 1500 tahun
SM yang lalu disebut kebudayaan neolitik. Kebudayaan masyarakat pada zaman
purba tergolong kebudayaan maritim. Kepercayaan yang dianut masyarakat antara
lain animisme dan dinamisme. Masyarakat dipimpin oleh oleh ketua adat.
Namun demikian ketua adat dan
para empu (pandai besi dan dukun yang merupakan orang-orang pandai) tidak
dipandang sebagai anggota masyarakat lapisan tinggi, kecuali ketika mereka
melaksanakan peranannya dalam upacara adat atau upacara ritual, dll. Sebab itu,
mereka tidak memiliki stratifikasi sosial yang tegas, tata masyarakatnya
bersifat egaliter. Adapun karakteristik lainnya yakni bahwa mereka hidup
bergotong-royong.
Ø Pendidikan
Tujuan pendidikan pada zaman
ini adalah agar generasi muda dapat mencari nafkah, membela diri, hidup
bermasyarakat, taat terhadap adapt dan terhadap nilai-nilai religi
(kepercayaan) yang mereka yakini. Karena kebudayaan masyarakat masih bersahaja,
pada zaman ini belum ada lembaga pendidikan formal (sekolah).
Pendidikan
dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga dan dalam kehidupan keseharian masyarakat
yang alamiah. Kurikulum pendidikannya meliputi pengetahuan, sikap dan nilai
mengenai kepercayaan melalui upacara-upacara keagamaan dalam rangka menyembah
nenek moyang, pendidikan keterampilan mencari nafkah (khususnya bagi anak
laki-laki) dan pendidikan hidup bermasyarakat serta bergotong royong melalui kehidupan
riil dalam masyarakatnya. Pendidiknya terutama adalah para orangtua (ayah dan
ibu), dan secara tidak langsung adalah para orang dewasa di dalam
masyarakatnya. Sekalipun ada yang belajar kepada empu, apakah kepada pandai
besi atau kepada dukun jumlahnya sangat terbatas, utamanya adalah anak-anak
mereka sendiri.
2.
Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Latar Belakang Sosial Budaya. Pada tahun 1596
bangsa Belanda telah datang ke negeri kita. Tujuan kedatangan mereka adalah
untuk berdagang. Pada tahun 1602 mereka mendirikan VOC. Karena VOC merupakan
badan perdagangan milik orang-orang Belanda yang beragama Protestan, maka
selain berupaya menguasai daerah untuk berdagang, juga untuk menyebarkan agama
Protestan. Kekuasaan VOC akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Negeri Belanda,
karena itu sejak tahun 1800-1942 negeri kita menjadi jajahan Pemerintah
Kolonial Belanda. Karaketristik kondisi sosial budaya pada zaman ini antara
lain:
(1)
berlangsungnya
kolonialisme,
(2)
dalam
bidang ekonomi berlangsung monopoli perdagangan hasil pertanian yang dibutuhkan
dan laku di pasar dunia,
(3)
terdapat
stratifikasi sosial berdasarkan ras atau suku bangsa dengan urutan dari lapisan
tertingi s.d. terbawah sebagai berikut: bangsa Belanda, golongan orang Timur
Asing, golongan Priyayi/Bangsawan Pribumi, dan golongan Rakyat Jelata Pribumi.
Sejak berkuasanya bangsa Belanda, bangsa kita
ditindas dan diadu domba, kekuasaan para raja dirampasnya, dan kekayaan alam
Indonesia diangkutnya. Sesungguhnya bangsa Indonesia terus berjuang melawan
penjajahan ini, perlawanan dan pemberontakan dilakukan oleh berbagai kelompok
bangsa kita di berbagai daerah di tanah air. Penjajahan yang telah berlangsung
lama benar-benar telah mengungkung kemajuan bangsa Indonesia, dan mengakibatkan
kemelaratan serta kebodohan. Seiring perjuangan bangsa yang tak pernah padam,
pada awal abad ke-20 muncul tekanan serta kecaman kaum humanis dan kaum sosial
demokrat di Belanda atas kekeliruan politik penjajahan pemerintah kolonial
Belanda. Keadaan ini akhirnya memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk
melaksanakan Politik Etis (1901).
Dengan semakin sadarnya bangsa
Indonesia akan makna nasionalisme dan kemerdekaan, pada awal abad ke-20 (sejak
kebangkitan nasional tahun 1908) lahirlah berbagai pergerakan. Pergerakan
nasional berlangsung dalam jalur politik maupun pendidikan. Coba Anda urai
kembali sejarah berbagai perkumpulan atau organisasi pergerakan nasional
beserta usaha-usahanya yang timbul sejak Kebangkitan Nasional tahun 1908
sebagaimana telah Anda pelajari di SMP dan SMA.
Pendidikan. Implikasi dari
kondisi politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Indonesia pada zaman ini, secara
umum dapat dibedakan dua garis penyelenggaraan pendidikan, yaitu: Pertama,
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda; Kedua,
pendidikan yang diselenggarakan oleh rakyat dan Kaum Pergerakan Kebangsaan
(Pergerakan Nasional) sebagai sarana perjuangan demi merebut kembali kemerdekaan
dan sebagai upaya rintisan ke arah pendidikan nasional. Berikut ini mari kita
kaji kondisi pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Adapun pendidikan yang
diselenggarakan oleh rakyat dan Kaum Pergerakan Nasional.
a.
Pendidikan Zaman VOC
Pendidikan di bawah kekuasaan
kolonial Belanda diawali dengan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh VOC.
VOC menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan),
bukan untuk misi intelektualitas, adapun tujuan lainnya adalah untuk
menghasilkan pegawai administrasi rendahan di pemerintahan dan gereja.
Sekolah-sekolah utamanya didirikan di daerah-daerah yang penduduknya memeluk
Katholik yang telah disebarkan oleh bangsa Portugis. Sekolah pertama didirikan
VOC di Ambon pada tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah berdiri
16 sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah.
Kurikulum pendidikannya berisi
pelajaran agama Protestan, membaca dan menulis. Kurikulum pendidikan belum
bersifat formal (belum tertulis), dan lama pendidikannya pun tidak ditentukan
dengan pasti. Murid-muridnya berasal dari anakanak pegawai, sedangkan anak-anak
rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk sekolah. Pada awalnya yang menjadi
guru adalah orang Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu
mereka yang sebelumnya telah dididik di Belanda. Selama kira-kira 200 tahun
berkuasa di negeri kita, pendidikan yang dilaksanakan VOC benar-benar sangat
sedikit sekali. Sampai tahun 1779 jumlah murid pada sekolah VOC adalah sbb:
Batavia 639 orang, pantai utara Jawa 327 orang, Makasar 50 orang, Timor, 593
orang, Sumatera barat 37 orang, Cirebon 6 orang, Banten 5 orang, Maluku 1057
orang, dan Ambon 3966 orang (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976).
b. Pendidikan Zaman
Pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebagai kelanjutan dari zaman
VOC, pendidikan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda pun mengecewakan
bangsa Indonesia. Kebijakan dan praktek pendidikan pada zama ini antara lain:
1)
Tahun
1808 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan agar para bupati di Pulau Jawa
menyebarkan pendidikan bagi kalangan rakyat, tetapi kebijakan ini tidak
terwujud.
2)
Tahun
1811-1816 ketika pemerintahan di bawah kekuasaan Raffles pendidikan bagi rakyat
juga diabaikan.
3)
Tahun
1816 Komisaris Jenderal C.G.C. Reindwardt menghasilkan Undang-undang Pengajaran
yang dianggap sebagai dasar pendirian sekolah, tetapi Peraturan Pemerintah yang
menyertainya yang dikeluarkan tahun1818 tidak sedikit pun menyangkut perluasan
pendidikan bagi rakyat Indonesia, melainkan hanya berkenaan dengan pendidikan
bagi orang-orang Belanda dan golongan Pribumi penganut Protestan.
4)
Selanjutnya,
di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch dikeluarkan kebijakan Culturstelsel
(Tanam Paksa) demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Belanda.
Karena untuk hal ini dibutuhkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang
banyak, maka tahun 1848 Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk menggunakan dana
anggaran belanja negara sebesar f 25.000 tiap tahunnya untuk mendirikan
sekolah-sekolah di Pulau Jawa dengan tujuan mengahasilkan tenaga kerja murah
atau pegawai rendahan. Pada tahun 1849-1852 didirikan 20 sekolah (di tiap
keresidenan).
Namun sekolah ini hanya
diperuntukan bagi anak-anak Pribumi golongan priyayi/bangsawan, sedangkan
anak-anak rakyat jelata tidak diperkenankan. Penyelenggaraan pendidikan bagi
kalangan bumi putera yang dicanangkan sejak 1848 mengalami hambatan karena
kekurangan guru dan mengenai bahasa pengantarnya. Maka pada tahun 1852
didirikanlah Kweekschool (sekolah guru) pertama di Surakarta, dan menyusul di
kota-kota lainnya. Sekolah ini pun hanyalah untuk anakanak golongan priyayi.
5)
Pada
tahun 1863 dan 1864 keluar kebijakan bahwa penduduk pribumi pun boleh diterima
bekerja untuk pegawai rendahan dan pegawai menengah di kantor- kantor dengan
syarat dapat lulus ujian. Syarat-syarat ini ditetapkan oleh putusan Raja pada
tgl. 10 September 1864. Demi kepentingan itu di Batavia didirikanlah semacam
sekolah menengah yang disempurnakan menjadi HBS (Hogere Burger School).
6)
Tahun
1867 didirikan Departemen Pengajaran Ibadat dan Kerajinan.
7)
Tahun
1870 UU Agraris dari De Waal yang memberikan kesempatan kepada pihak partikelir
untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan akan pegawai. Hal ini berimplikasi pada perluasan sekolah.
8)
Tahun
1893 keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumi Putera, yaitu Sekolah
Kelas I untuk golongan priyayi, sedangkan Sekolah Kelas II untuk golongan
rakyat jelata.
9)
Setelah
dilaksanakannya Politik Etis, pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van Heutsz
mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan Bumi Putera: pertama, mendirikan
Sekolah Desa yang diselenggarakan oleh Desa, bukan oleh Gubernemen. Biaya dsb.
menjadi tanggung jawab pemerintah desa; kedua, memberi corak sifat
ke-Belanda-an pada Sekolah Kelas I. Maka tahun 1914 Sekolah Kelas I diubah
menjadi HIS (Holands Inlandse School) 6 tahun dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda. Sedangkan Sekolah Kelas II tetap bernama demikan atau disebut Vervoleg
School (sekolah sambungan) dan merupakan lanjutan dari Sekolah Desa yang
didirikan mulai tahun 1907. Akibat dari hal ini, maka anak-anak pribumi
mengalami perpecahan, golongan yang satu merasa lebih tinggi dari yang lainnya.
10) Pada tahun 1930-an usaha perluasan
pendidikan bagi Bumi Putera mengalami hambatan. Surat Menteri Kolonial Belanda
Colijn kepada Gubernur Jenderal de Jonge pada 10 Oktober 1930 menyatakan bahwa
perluasan sekolah negeri jajahan terutama untuk kaum Bumi Putera akan sulit
karena kekurangan dana.
Dalam periode pemerintahan
kolonial Belanda, betapa kecilnya usaha-usaha pendidikan bagi kalangan Bumi
Putera. Sampai akhir tahun 1940 jumlah penduduk bangsa Indonesia 68.632.000,
sedangkan yang bersekolah hanya 3,32%. Ciri-ciri pendidikan. Ciri-ciri
pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya partisipasi pendidikan bagi
kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya hanya diperuntukan bagi bangsa Belanda
dan anak-anak bumi putera dari golongan priyayi; kedua, pendidikan bertujuan
untuk menghasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan. Tilaar (1995)
mengemukakan lima ciri pendidikan zaman kolonial Belanda, yaitu:
1)
Adanya
Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk bangsa Belanda yang dibedakan
dengan pendidikan untuk kalangan Bumi Putera;
2)
Sistem
Konkordansi, yaitu pendidikan di daerah jajahan diarahkan dan dipolakan menurut
pendidikan di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di satu pihak memberi efek
menguntungkan, sebab penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama, tetapi
dipihak lain ada efek merugikan dalam hal pembentukan jiwa kaum Bumi Putera
yang asing dengan budaya dan bangsanya sendiri;
3)
Sentralisasi
pengelolaan pendidikan oleh pemerintahan kolonial Belanda;
4)
Menghambat
gerakan nasional; dan
5)
Munculnya
perguruan swasta yang militan demi perjuangan nasional (kemerdekaan).
B.
Pendidikan Yang Diselenggarakan Kaum
Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional) Dan Pendidikan Zaman Pendudukan
Militerisme Jepang
1.
Pendidikan oleh Kaum Pergerakan Kebangsaan
(Pergerakan Nasional) sebagai Sarana Perjuangan Kemerdekaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan Nasional.
Latar Belakang Sosial Budaya
Timbulnya Pergerakan Nasional. Telah Anda
pahami melalui kegiatan pembelajaran 1 bahwa kebijakan Pemerintah
Kolonial Belanda dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan sangat merugikan
bangsa Indonesia. Pemerasan yang dilakukan Belanda terhadap bangsa dan kekayaan
Indonesia, telah menimbulkan penderitaan/kemiskinan. Perbedaan kedudukan dan kehidupan yang mencolok
antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia sangat nyata, baik dalam kedudukan
sosial maupun pemberian gaji. Stratifikasi sosial, sistem dualisme dan konkordansi
dalam bidang pendidikan telah menimbulkan rendahnya kesempatan pendidikan yang
diberikan kepada bangsa Indonesia, juga menimbulkan perpecahan dan kebodohan.
Selain itu, pendidikan bagi bangsa kita hanya ditujukan dalam rangka memenuhi
kebutuhan tenaga kerja murah untuk mendukung sistem ekonomi dan politik kolonialisme.
Pendidikan kolonial Belanda tidak memungkinkan bangsa Indonesia untuk menjadi
cerdas, bebas, bersatu dan merdeka.
Berbagai kondisi yang sangat
merugikan bangsa Indonesia akibat kebijakan dan praktek-praktek penjajahan
tersebut di atas, telah menimbulkan rasa senasib sepenanggungan sebagai bangsa
yang dijajah sehingga muncul rasa kebangsaan/nasionalisme. Kebesaran masa
lampau bangsa kita semasa zaman kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dsb.,
juga memperkuat rasa harga diri sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka.
Sebab itu , kaum terpelajar di kalangan bangsa kita terdorong untuk berperan
menjadi motor pergerakan. Bahasa melayu yang merupakan bahasa kesatuan makin
menyadarkan bahwa bangsa Indonesia adalah satu bangsa. Selain itu, karena
mayoritas bangsa Indonesia memeluk agama Islam, maka timbul persepsi bahwa
Belanda adalah Kafir. Itulah antara lain faktor-faktor intern ( faktor-faktor
yang terjadi di dalam negeri) yang menimbulkan pergerakan kebangsaan/pergerakan
nasional.
Sejak Kebangkitan Nasional
(1908) sifat perjuangan rakyat Indonesia dilakukan melalui berbagai partai dan
organisasi, baik melalui jalur politik praktis, jalur ekonomi, sosial-budaya.
dan khususnya melalui jalur pendidikan. Sifat perjuangan bangsa kita saat itu
tidak lagi hanya menitik beratkan pada perjuangan fisik. Mengingat ciri-ciri pendidikan
yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak memungkinkan bangsa
Indonesia untuk menjadi cerdas, bebas, bersatu, dan merdeka, maka kaum
pergerakan semakin menyadari bahwa pendidikan yang bersifat nasional harus
segera dimasukkan ke dalam program perjuangannya. Usaha-usaha kaum pergerakan
melalui jalur pendidikan demi kemerdekaan dan rintisan ke arah pendidikan nasional
tampak jelas. Hampir setiap organisasi pergerakan nasional mencantumkan dan melaksanakan
pendidikan dalam anggaran dasar dan/atau dalam program kerjanya.
Pendidikan. I Djumhur dan H.
Danasuparta (1976) mengemukakan bahwa setelah tahun 1900 usaha-usaha partikelir
di bidang pendidikan berlangsung dengan sangat giatnya. Untuk mengubah keadaan
akibat penjajahan, kaum pergerakan memasukan pendidikan ke dalam program
perjuanganya. Dewasa ini lahirlah sekolah-sekolah partikelir (perguruan
nasional) yang diselenggarakan para perintis kemerdekaan.
Sekolah-sekolah itu mula-mula
bercorak dua:
1)
Sekolah-sekolah
yang sesuai haluan politik, seperti yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar
Dewantara (Taman Siswa), Dr. Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi (Ksatrian
Institut), Moch. Sjafei (INS Kayutanam) dsb.
2)
Sekolah-sekolah
yang sesuai tuntutan agama (Islam), seperti yang diselenggarakan oleh:
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sumatera Tawalib di Padangpanjang, dll
Selain itu, sebelumnya telah
diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh wanita seperti R.A. Kartini
(di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus (di Sumatera). Kebijakan
dan praktek pendidikan yang diselenggarakan rakyat dan kaum pergerakan antara
lain sebagaimana diuraikan berikut ini:
a.
R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika, dan Rohana
Kuddus.
Sekalipun tinggal di daerah
yang berjauhan, R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika, dan Rohana Kuddus menghadapi
masalah yang relatif sama. Mereka melihat kepincangan dalam masyarakat dan
ketidak adilan terhadap wanita, sehingga menghambat kemajuan kaum wanita karena
adat kebiasaan yang berlaku pada saat itu. Sebab itu, baik R.A. Kartini, Dewi Sartika, maupun Rohana Kudus
memiliki cita-cita yang relatif sama pula, yaitu keinginan untuk bebas, berdiri
sendiri, serta membebaskan kaum wanita (gadisgadis) Indonesia lainnya dari ketertinggalan
dan ikatan adat kebiasaan. Mereka masingmasing berupaya memperjuangkan
emansipasi kaum wanita demi perbaikan kedudukan dan derajat kaum wanita untuk
mengejar kemajuan melalui upaya pendidikan. Upaya- upaya pendidikan yang
dilakukan mereka adalah:
·
R.A.
Kartini (1879-1904): Pada tahun 1903 Ia membuka “Sekolah Gadis” di Jepara, dan
setelah menikah ia membukanya lagi di Rembang. Karena usianya yang relatif
pendek usaha Kartini di bidang pendidikan tidak terlalu banyak, namun ia telah
memberikan petunjuk jalan, melakukan rintisan pendidikan bagi kaum wanita.
Cita-citanya memberikan gambaran perjuangan dan cita-cita kaum wanita
Indonesia.
·
Rd.
Dewi Sartika (1884-1947): Pada tahun 1904 Ia mendirikan “Sakola Isteri”
(Sekolah Isteri). Murid pertamanya berjumlah 20 orang, makin lama muridnya
bertambah. Pada tahun 1909 sekolah ini melepas lulusannya yang pertama dengan
mendapat ijazah. Pada tahun 1912 di 9 kabupaten seluruh Pasundan telah dijumpai
sekolah semacam Sekolah Isteri Dewi Sartika. Pada tahun 1914 Sekolah Isteri
diganti namanya menjadi “Sakola Kautamaan Isteri” (Sekolah Keutamaan Isteri),
dan pada tahun 1920 tiap-tiap kabupaten di seluruh Pasundan mempunyai Sakola
Kautamaan Isteri. Adapun untuk melestarikan sekolah-sekolahnya itu dibentuk
“Yayasan Dewi Sartika”.
·
Rohana
Kuddus (1884- 1969): Rohana Kuddus dikenal sebagai wanita Islam yang taat pada
agamanya dan sebagaimana kedua tokoh di atas ia giat sekali mempelopori
emansipasi wanita. Selain sebagai pendidik, ia pun adalah wartawan wanita
pertama Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan I.
Djumhur dan H. Danasuparta (1976), pada tahun 1896 (pada usia 12 tahun) Rohana
telah mengajarkan membaca dan menulis (huruf Arab dab Latin) kepada teman-teman
gadis sekampungnya. Pada tahun 1905 ia mendirikan Sekolah Gadis di Kota Gedang.
Pada tgl. 11 Februari 1911 ia memimpin Perkumpulan Wanita Minagkabau yang
diberi nama “Kerajinan Amai Setia” yang kemudian dijadikan nama sekolahnya.
Rohana juga berjuang menerbitkan surat kabar khusus untuk wanita. Pada tgl 10
Juli 1912 Rohana menjadi pemimpin redaksi surat kabar wanita di kota Padang
yang diberi nama “Soenting Melajoe”. Kurikulum pendidikan mereka memiliki
kesamaan pula, yaitu berkenaan dengan membaca, menulis, berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan kewanitaan agar mereka dapat berkarya.
b.
Budi Utomo
Pada tahun 1908 Budi Utomo
dalam kongresnya yang pertama (3-4 Oktober 1908) menegaskan bahwa tujuan
perkumpulan itu adalah untuk kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa
Indonesia, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, dagang,
teknik industri, dan kebudayaan. Untuk itu Budi Utomo pada tahun 1913
mendirikan Darmo-Woro Studiefonds; dan mendirikan tiga Sekolah Netral di Solo dan
dua di Yogyakarta. Pada tahun 1918 mendirikan Kweekschool di Jawa Tengah, kemudian
Sekolah Guru Kepandaian Putri untuk Sekolah Kartini, enam Normaal School, dan
sepuluh Kursus Guru Desa, dsb. Pada tahun itu sekolah-sekolah Budi Utomo telah berkembang
hingga jumlahnya kurang lebih mencapai 480 (H.A.R. Tilaar, 1995).
c.
Muhammadiyah
Pada tanggal 18 November 1912
K. H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi perkumpulan Muhammadiyah di
Yogyakarta. Muhammadiyah dengan berbagai sekolahnya, didirikan dalam rangka
memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia
sendiri, untuk mengatasi kristenisasi, dan untuk mewujudkan masyarakat Islam
yang melaksanakan ajaran al-Qur’an dan Hadits sesuai yang diajarkan Rosululloh
(Nabi Muhammad S.A.W).
Dasar/asas dan Tujuan
Pendidikan. Pendidikan Muhammadiyah berasaskan Islam dan berpedoman kepada
Al-Qur’an dan Hadits. Tujuan pendidikan Muhammadiyah adalah membentuk manusia
muslim berakhlak mulia, cakap, percaya diri dan berguna bagi masyarakat.
Sebagai orang muslim harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berjiwa tauhid
yang murni; beribadah kepada Allah; berbakti kepada orang tua dan baik kepada
kerabatnya; memiliki akhlak yang mulia dan halus perasaannya; berilmu pengetahuan
dan mempunyai kecakapan; dan cakap memimpin keluarga dan masyarakat (Abu
Ahmadi, 1975).
Penyelenggaraan Pendidikan.
Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke, di bawah pimpinan Majelis Pengajaran.
Sekolah-sekolah itu di samping memberikan pendidikan agama Islam, memberikan
juga berbagai mata pelajaran seperti di sekolah-sekolah Pemerintah. Usaha-usaha
lain berupa perluasan pengajian-pengajian (di bawah bimbingan Majelis Tabligh),
menyebarkan bacaan-bacaan agama, mendirikan mesjidmesjid, madrasah-madrasah,
pesantren-pesantren, dan sebagainya.
d. Perkumpulan Putri Mardika.
Perkumpulan Putri Mardika
didirikan tahun 1912. Bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan (Odang
Muchtar, 1976).
e.
Trikoro Dharmo.
Pada tahun 1915 didirikan
Trikoro Dharmo, dan selanjutnya berdiri berbagai perkumpulan pemuda dan pelajar
di berbagai tempat di tanah air hingga terwujudnya Sumpah Pemuda pada tahun
1928. Berbagai organisasi pemuda dan pelajar ini bersamasama gerakan lainnya
menyumbangkan jasa-jasa yang besar demi pendidikan nasional dan kemerdekaan
Indonesia. “Mereka bersepakat untuk memperbanyak kesempatan memperoleh
pendidikan dengan membuka sekolah-sekolah sehingga dapat menampung semakin
banyak anak Indonesia, mempermudah untuk dapat mengikuti pelajaran bagi semua
lapisan masyarakat, dan agar para anak didik mempunyai perasaan peka sebagai putra
Indonesia” (H.A.R. Tilaar, 1995).
f.
Perguruan Taman Siswa
Pada mulanya Ki Hadjar
Dewantara (1889-1959) bersama rekan-rekannya berjuang di jalur politik praktis,
selanjutnya mulai tahun 1921 perjuangannya difokuskan di jalur pendidikan. Hal
ini Beliau lakukan mengingat Departemen Pengajaran Pemerintah Belanda bersikap
diskriminatif mengenai hak dan penyelenggaraan pendidikan bagi bagsa kita.
Pendidikan Kolonial tidak berdasarkan kebutuhan bangsa kita, melainkan hanya
untuk memenuhi kepentingan kolonial. Isi pendidikannya tidak sesuai dengan
kemajuan jiwa-raga bangsa. Pendidikan kolonial tidak dapat mengadakan perikehidupan
bersama, sehingga kita selalu bergantung kepada kaum penjajah.
Pendidikan kolonial tidak
dapat menjadikan kita menjadi manusia merdeka. Menurut Ki Hadjar Dewantara
keadaan ini (penjajahan) tidak akan lenyap jika hanya dilawan dengan pergerakan
politik saja. Melainkan harus dipentingkan penyebaran benih hidup merdeka di
kalangan rakyat dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan nasional (I. Djumhur
dan H. Danasuparta, 1976). Sehubungan dengan hal di atas pada tgl. 3 Juli 1922
di Yogyakarta Ki Hadjar Dewantara mendirikan "National Onderwijs Institut
Taman Siswa" yang
kemudian menjadi "Perguruan Nasional Taman Siswa". Dasar atau Azas
Pendidikan. Pada pembukaan lembaga pengajaran Taman Siswa (3 Juli 1922), Ki
Hadjar Dewantara mengemukakan tujuh azas pendidikannya yang kemudian dikenal
dengan Azas Taman Siswa 1922. Ketujuh Azas tersebut adalah:
1)
Hak
seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan wajib mengingat tertibnya
kehidupan umum. Hendaknya tiap anak dapat berkembang menurut kodrat atau bakatnya. Dalam mendidik, perintah dan
hukuman yang kita anggap memperkosa hidup kebatinan anak hendaknya ditiadakan.
Mereka hendaknya dididik melalui “Among –methode”.
2)
Pengajaran
berarti mendidik untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka
fikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang
perlu dan baik saja, melainkan harus juga mendidik murid agar dapat mencari
sendiri pengetahuan itu dan mengamalkannya demi kepentingan umum. Pengetahuan
yang baik dan perlu yaitu yang bermanfaat bagi kepentingan lahir dan batin
dalam hidup bersama.
3)
Pendidikan
hendaknya berasaskan kebudayaan kita sendiri sebagai penunjuk jalan, untuk
mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi
kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban bangas kita sendiri kita lalu
pantas berhubungan bersama-sama dengan bangsa asing.
4)
Pendidikan
harus diberikan kepada seluruh rakyat umum daripada mempertinggi pengajaran
kalau usaha mempertinggi ini mengurangi tersebarnya pengajaran.
5)
Agar
bebas, merdeka lahir batin, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri.
6)
Agar
hidup tetap dengan berdiri sendiri, maka segala belanja mengenai usaha kita
harus dipikul sendiri dengan uang pendapatan sendiri.
7)
Dengan
tidak terikat lahir batin, serta kesucian hati, berminat kita berdekatan dengan
Sang Anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk
berhamba kepada Sang Anak.
Sesudah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia, Asas Taman Siswa 1922, pada tahun 1947 diubah menjadi
"Panca Dharma" Taman Siswa, yaitu:
1) Kebebasan atau Kemerdekaan,
2) Kebudayaan,
3) Kodrat Alam,
4) Kebangsaan, dan
5) Kemanusiaan.
2.
Pendidikan Zaman Pendudukan Militerisme
Jepang.
Latar Belakang Sosial Budaya.
Kekuasaan pemerintah kolonial Belanda berakhir ketika pada tgl. 8 Maret 1942
mereka menyerah kepada militer kerajaan Jepang. Selanjutnya bangsa Indonesia
berada di bawah kekuasaan pendudukan militerisme Jepang selama hampir 3,5
tahun.
Jepang menyerbu Indonesia
karena kekayaan negeri ini yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang
Pasifik dan sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Di balik itu,
mereka mempropagandakan semboyan Hakko Ichiu atau semboyan “kemakmuran bersama”
Asia Timur Raya. Mereka menyatakan bahwa mereka berjuang mati-matian melakukan
“perang suci” (melawan sekutu) demi kemakmuran bersama Asia Timur Raya dengan
Jepang sebagai pemimpinnya. Namun demikian tujuan pendudukan militer Jepang
lama kelamaan menjadi penindasan. Ada dua kebijakan pemerintah pendudukan
militer Jepang :
1)
menghapuskan
semua pengaruh Barat di Indonesia melalui “pen-Jepang-an”, dan
2)
memobilisasi
segala kekuatan dan sumber yang ada untuk mencapai kemenangan perang Asia Timur
Raya.
Pendidikan. Implikasi
kekuasaan pemerintahan pendudukan militer Jepang dalam bidang pendidikan di
Indonesia yaitu:
1)
Tujuan
dan isi pendidikan diarahkan demi kepentingan perang Asia Timur Raya. Contoh:
Tiap pagi di sekolah-sekolah dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang
“Kimigayo”. Upacara pagi dilanjutkan dengan pengibaran bendera Hinomaru dan
membungkuk untuk menghormat Tenno Heika. Tiap hari para siswa harus mengucapkan
sumpah pelajar dalam bahasa Jepang, melakukan taiso (senam), dan diwajibkan
pula melakukan kinrohoshi (kerja bakti). Selain itu, dibentuk PETA sebagai
program pendidikan militer bagi para pemuda; dibentuk barisan murid-murid
Sekolah Rakyat (Seinen-tai); dan barisan murid-murid Sekolah Lanjutan
(Gakutotai).
2)
Hilangnya
Sistem Dualisme dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang bersifat dualistis
membedakan dua jenis sekolah untuk anak-anak bangsa Belanda dan anak-anak Bumi
Putera dihapuskan pada zaman Jepang. Sekolah bersifat terbuka untuk seluruh
lapisan anak Indonesia. Namun demikian, hanya satu jenis sekolah rendah diadakan
bagi semua lapisan masyarakat, yaitu: Sekolah Rakyat 6 tahun (Kokumin Gakko).
Sekolah Desa masih tetap ada dan namanya diganti menjadi Sekolah Pertama.
Susunan jenjang sekolah menjadi:
a. Sekolah Rakyat 6 tahun (termasuk Sekolah
Pertama).
b. Sekolah Menengah 3 tahun.
c. Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun.
d. Perguruan Tinggi.
3)
Sistem
Pendidikan menjadi lebih merakyat (populis). Sebagaimana dikemukakan di atas,
pada prinsipnya terjadi perubahan bahwa sekolah menjadi terbuka bagi semua lapisan
masyarakat (“Demokrasi Pendidikan”). Hapusnya sistem Konkordansi dan masuknya
sistem baru yang relatif lebih praktis dan terarah bagi kebutuhan masyarakat,
meskipun kepraktisan tersebut lebih berarti untuk keperluan kemenangan perang
Jepang. Selain itu bahasa Indonesia pertama kalinya dijadikan bahasa pengantar
di sekolah dan dijadikan bahasa ilmiah, di samping tentunya bahasa Jepang.
Sedangkan bahasa Belanda dilarang untuk digunakan (H.A.R. Tilaar, 1995).
C.
Pendidikan Indonesia Periode Tahun
1945-1969 Dan Masa Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Ke I: 1969-1993
1.
Pendidikan pada Periode Tahun 1945-1969
a. Zaman Revolusi Fisik Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan UUD1945 sebagai
dasar negara. Sejak saat ini jenjang dan jenis pendidikan mulai disempurnakan
dan disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Contoh: Sekolah Menengah
zaman Jepang (Skoto Cu Dakko dan Coto Cu Gakko) diubah menjadi SMTP dan SMTA.
Bersamaan dengan berjalannya
revolusi fisik, pemerintah mulai mempersiapkan sistem pendidikan nasional
sesuai amanat UUD 1945. Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) mengeluarkan “Instruksi Umum”
agar para guru membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan
patriotisme. Selanjutnya, diawali dengan Kongres Pendidikan, Menteri PP dan K
membentuk Komisi Pendidikan dan Komisi ini membentuk Panitia Perancang Undang-Undang
(RUU) mengenai pendidikan dan pengajaran.
Karena terganggu dengan pecahnya
perang kolonial kedua, pembahasan RUU di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (BP KNIP) terhenti dan baru dapat dilaksanakan kembali pada tanggal 29
Oktober 1949. Tanggal 5 April 1950 RUU tersebut diundangkan sebagai UU RI No.4 Tahun
1950 Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. UU RI No. 4 Tahun
1950 ini kemudian diterima oleh DPR pada tanggal 27 Januari 1954, kemudian disyahkan
oleh pemerintah pada tanggal 12 Maret 1954 dan diundangkan tanggal 18 Maret
1954 sebagai UU No. 12 Tahun 1954 (H.A.R. Tilaar, 1995).
b. Peletakan Dasar Pendidikan Nasional.
Pada tgl. 18 Agustus 1945 PPKI
menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. Namun setelah Konferensi Meja
Bundar, tahun 1949 terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
memberlakukan UUD RIS. Pada saat RIS kembali ke negara kesatuan RI, UUD RIS
diganti dengan UUD Sementara RI atau UU No. 7 Tahun 1950. Setelah Pemilu tahun
1955, karena Konstituante gagal menyusun UUD maka tgl. 5 Juli 1959 keluarlah
Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa bangsa dan negara kesatuan Republik
Indonesia kembali kepada UUD 1945.
Sekalipun terjadi pergantian
bentuk dan konstitusi negara sebagaimana diuraikan di atas, tetapi pendidikan
nasional Indonesia tetap dilaksanakan sesuai jiwa UUD 1945, dan bahwa UU RI No.
4 Tahun 1950 de facto digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan untuk seluruh daerah Negara Kesatuan RI. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam Piagam Persetujuan Pemerintah RIS dan Pemerintah RI
tgl. 19 Mei 1950, serta sebagaimana dinyatakan dalam Pengumuman Bersama Menteri
PP dan K RIS dan RI tgl. 30 Juni 1950. Selanjutnya UU pernyataan berlakunya UU
tersebut di atas (RUU) diajukan kepada DPR. Pada tgl. 27 Juni 1954 DPR menerima
RUU tersebut, kemudian disahkan oleh pemerintah pada tgl. 12 Maret 1954, dan
diberlakukan pada tgl. 18 Maret 1954 sebagai UU RI No. 12 Tahun 1954. Di dalam Pasal
3 UU ini termaktub bahwa “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia
susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang
kesejahteran masyarakat dan tanah air”. Adapun Pasal 4 menyatakan:
“Pendidikan dan pengajaran berdasar asas-asas yang termaktub dalam “Panca
Sila”Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan
kebangsaan Indonesia”.
c. Demokrasi Pendidikan
Sesuai dengan amanat UUD 1945
dan UURI No. 4 Tahun 1950, meskipun menghadapi berbagai kesulitan, pemerintah
mengusahakan terselenggaranya pendidikan yang bersifat demokratis, yaitu
Kewajiban Belajar Sekolah Dasar bagi anak-anak yang berumur 8 tahun. Rencana
kewajiban belajar sekolah dasar ini direncanakan selama 10 tahun (1950-1960).
Pelaksanaan program ini didukung dengan PP No. 65 Tahun 1951.
Karena pelaksanaan kewajiban
belajar ini menghadapi masalah kekurangan guru dan jumlah sekolah, maka
berdasarkan Keputusdan Menteri Pendidikan No. 5033/F tgl. 5 Juli 1950
didirikanlah Kursus Pengajar untuk Kursus Pengantar kepada Kewajiban Belajar (KPKPKB).
Pada tahun 1952 Jumlah KPKB (Kursus Pengantar Kewajiban Belajar) sebagai embrio
SD atau SD Kecil telah mencapai 3.372 dengan jumlah siswa sekitar setengah juta
orang. Pada saat ini demokratisasi pendidikan (kewajiban belajar) tampak sudah
mulai dilaksanakan. Selanjutnya KPKPKB ditingkatkan menjadi SGB dan SGA, selain
itu . didirikan pula kursus-kursus persamaan SGB dan SGA (H.A.R. Tilaar, 1995).
d. Lahirnya LPTK pada Tingkat Universiter
Apabila dalam pelaksanaan
kewajiban belajar SD telah menimbulkan KPKPKB, SGB, dan SGA, maka untuk suplai
guru sekolah menengah dilaksanakan melalui PGSLP serta Kursus B I dan Kursus B
II untuk guru sekolah Lanjutan Atas. Selain lembaga-lembaga tersebut beberapa
lembaga yang menghasilkan tenaga kependidikan antara lain: APD (Akademi
Pendidikan Jasmani), ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), Sekolah Musik
Indonesia, Konservatori Karawitan, dan Fakultas Pedagogik Universitas Gajah
Mada.
Dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan, maka atas dorongan Prof. Moh. Yamin pada tahun 1954 didirikanlah
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di empat tempat yaitu di Batu Sangkar,
Bandung, Malang dan Tondano. Atas dasar konferensi antar Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) negeri seluruh Indonesia di Malang tanggal 21 s.d. 25
Agustus 1960, maka berbagai lembaga pendidikan tenaga guru (PGSLP, Kursus BI,
BII dan PTPG) diintegrasikan ke dalam FKIP pada Universitas. Selanjutnya pada
tahun 1960-an didirikanlah IKIP yang berdiri sendiri sebagai perpindahan dari
PTPG sesuai dengan UU PT No. 22 Tahun 1961, sekalipun demikian di beberapa
Universitas FKIP tetap berdiri.
e. Lahirnya Perguruan Tinggi
Antara tahun 1949-1961
pemerintah Indonesia telah mendirikan berbagai PT antara lain: Universitas
Gajah Mada (20 November 1949), Universita Indonesia (1950), Universitas
Airlangga (1954). Universitas Hasanuddin, PTPG yang kemudian menjadi IKIP
(1954-1961), Universitas Andalas (1956) dan Universitas Sumatera Utara di
Medan.
Pada tanggal 4 Desember 1961
lahir UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Pokok-pokok yang menonjol
dalam UU ini yang sampai sekarang masih dipertahankan adalah prinsip Tridharma
Perguruan Tinggi yaitu pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat.
f. Era Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Tahap Pertama 1961-1969
Pidato Presiden RI tgl. 17
Agustus 1959 sebagai penjelasan resmi tentang Dekrit Presiden 5 Juli 1959
dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol). Melalui TAP MPRS-RI No.
I/MPRS/1960 Manifesto Politik tersebut ditetapkan sebagai Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN), dan berdasarkan TAP tersebut dikeluarkan pula TAP MPRS-RI
No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahap Pertama 1961-1969. Di dalam TAP tersebut antara lain dikatakan
bahwa pembangunan semesta berencana tahap pertama ini merupakan pembangunan
dalam masa peralihan menuju masyarakat adil dan makmur, demikian pula pembangunan
tersebut sifatnya menyeluruh. Dasar-dasar pembangunan tersebut ialah Pancasila
dan Manipol serta untuk mengembangkan kepribadian Indonesia. Dalam era ini
Manipol dijadikan doktrin negara, dan dalam perkembangan selanjutnya, intisari Manipol
dirangkumkan dengan kependekan USDEK, yaitu Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Manipol USDEK secara sistematis diindoktrinasikan kepada seluruh rakyat Indonesia,
termasuk di semua jenjang dan jenis pendidikan.
Dalam TAP-TAP MPRS di atas ada
beberapa hal yang menarik perhatian, antara lain bahwa:
(1)
untuk
mengembangkan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia, maka
pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing harus ditolak;
(2)
Pancasila
dan Manipol dijadikan mata pelajaran di perguruan rendah sampai dengan
perguruan tinggi;
(3)
pendidikan
agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat
sampai dengan universitas-universitas negeri dengan pengertian bahwa para
siswa/mahasiswa berhak untuk tidak ikut serta, apabila wali murid/murid dewasa
menyatakan keberatannya.
Rumusan ini jelas merupakan
rumusan yang dimasukan oleh golongan politik tertentu. Jelas-jelas rumusan
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila (H.A.R. Tilaar, 1995).
Setelah Presiden menyatakan
Dekrit 5 Juli 1959, salah satu usaha menyesuaikan pendidikan nasional dengan
pekembangan politik pada masa itu, maka atas dasar Instruksi Menteri Muda
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 1 tanggal 17 Agustus 1959 di
keluarkan apa yang disebut Sapta Usaha Tama. Sebagai pelaksanaan instruksi di
atas, di dalam Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 2 tanggal
17 Agustus 1961 dirumuskan sebagai berikut: 1) Menegaskan Pancasila dengan Manipol
sebagai pelengkapnya, sebagai asas pendidikan nasional. 2) Menetapkan Pantja Wardhana.
Selain itu diselenggarakan pula apa yang disebut dengan Hari Krida. Dalam
rangka menyesuaikan segala usaha untuk mewujudkan Manipol, melalui Keputusan
Presiden RI No. 145 Tahun 1965 pendidikan nasional dipandang sebagai sarana
yang maha penting, fungsi pendidikan nasional dipandang sebagai alat revolusi.
Pendidikan harus difungsikan
atau harus memiliki Lima Dharma Bhakti Pendidikan, yaitu:
(1) Membina Manusia Indonesia Baru yang
berakhlak tinggi (Moral Pancasila);
(2) Memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam
segenap bidang dan tingkatnya (manpower);
(3) Memajukan dan mengembangkan kebudayaan
nasional;
(4) Memajukan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
(5) Menggerakan dan menyadarkan seluruh
kekuatan rakyat untuk membangun masyarakat dan manusia Indonesia Baru.
Selanjutnya dinyatakan bahwa
asas pendidikan nasional adalah Pancasila – Manipol USDEK. Dengan demikian
tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan warga negara-warga negara
sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya
masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material
dan berjiwa Pancasila. Dalam hal ini, moral pendidikan nasional ialah Pancasila
Manipol/USDEK, dan politik pendidikannya adalah Manifesto Politik. Selanjutnya melalui
Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila antara lain dirumuskan kembali mengenai dasar asas pendidikan
nasional, tujuan, isi moral, dan politik nasional. Yang menarik dalam rumusan-rumusan
tersebut ditegaskan sekali lagi bahwa tugas pendidikan nasional Indonesia ialah
menghimpun kekuatan progresif revolusioner berporoskan Nasakom.
Banyak program pembangunan
yang telah direncanakan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap
Pertama (1961-1969). Rencana proyek pembangunan di bidang pendidikan antara
lain berkenaan pengembangan pendidikan tinggi, diprioritaskannya pengembangan
sekolah-sekolah kejuruan, kursus-kursus, dsb. Namun demikian akibat pecahnya
pemberontakan G-30-S/PKI, maka rontoklah rencana pembangunan nasional semesta
berencana tersebut.
Setelah pemberontakan G. 30
S/PKI dapat ditumpas, terjadi suatu keadaan peralihan masyarakat Indonesia dari
Orde Lama ke Orde Baru. Dalam menegakkan Orde Baru ini terlibat secara aktif
golongan intelektual yang dikenal sebagai KAMI dan KAPPI yang menggelorakan Tri
Tura. Khususnya dalam bidang pendidikan, pada masa ini prinsip pendidikan
Pantja Wardhana kemudian disusul dengan sistem pendidikan nasional Pancasila.
Hal ini sebagaimana isi Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang menyatakan
bahwa sistem pendidikan haruslah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuannya
ialah membentuk manusia Pancasilais sejati. Isi pendidikannya ialah untuk
mempertinggi moral, akhlak dan keyakinan agama, mempertinggi keterampilan dan
kecerdasan, dan mempertinggi mutu kesehatan fisik manusia. Hal tersebut
diperkuat lagi dengan Tap MPRS RI No. XXXIV/MPRS/1967 tentang Peninjauan
Kembali Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik
Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara. Selanjutnya, melalui TAP
MPR-RI No.
V/MPR/1973 tentang Pencabutan
produk-produk yang berupa ketetapan-ketetapan MPRS-RI menyatakan tidak berlaku
lagi dan mencabut TAP I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia
sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, juncto TAP XXXIV/MPRS/67 tentang
peninjauan kembali ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik
Republik Indonesia sebagai GBHN (H.A.R. Tilar, 1995).
2.
Pendidikan Pada Masa PJP I
Pelaksanaan Pelita I PJP I
dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada tgl. 28-30 April 1969 pemerintah c.q.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir
pendidikan di Cipayung untuk melakukan konferensi dalam rangka:
1)
mengidentifikasi
masalah-masalah pendidikan nasional, dan
2)
menyusun
suatu prioritas pemecahan dari berbagai masalah tersebut, serta mencari
alternatif pemecahannya.
Salah satu hasil konferensi
Cipayung itu ialah lahirnya Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) pada
tgl. 1 Mei 1969 melalui SK Mendikbud tgl. 26 Mei 1969. Isi SK tersebut ialah
bahwa dalam jangka waktu dua tahun (kemudian diubah menjadi tiga tahun) PPNP
harus sudah berhasil menyusun strategi pendidikan nasional. Hasil kerja PPNP
dimanfaatkan oleh Badan Pengembangan Pendidikan atau BPP (Sekarang BALITBANG)
Depdikbud yang didirikan melalui Keputusan Presiden No. 84/1969 tgl. 18 Oktober
1969. Hasil kerja PPNP dijadikan dasar perencanaan pendidikan yang lebih baik
untuk Pelita II serta telah meletakan dasar-dasar perencanaan pendidikan untuk Pelita-Pelita
selanjutnya. Dengan hasil kerja PPNP inilah pembangunan pendidikan untuk PJP I
mulai dimantapkan.
Di dalam rumusan-rumusan
kebijakan pokok pembangunan pendidikan selama PJP I terdapat beberapa kebijakan
yang terus menerus dikemukakan, yaitu:
1) relevansi pendidikan,
2) pemerataan pendidikan,
3) peningkatan mutu guru atau tenaga kependidikan,
\
4) mutu pendidikan, dan
5) pendidikan kejuruan.
Selain kebijakan pokok tersebut
terdapat pula beberapa kebijakan yang perlu mendapat perhatian kita. Pertama, kebijakan
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam bidang pendidikan. Kedua,
pengembangan sistem pendidikan yang efisien dan efektif. Ketiga, dirumuskan dan
disyahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” sebagai
pengganti UU pendidikan lama yang telah diundangkan sejak tahun 1950.
Tujuan Pendidikan Nasional.
Sesuai dengan Tap MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan
Kebudayaan, maka dirumuskan bahwa Tujuan Pendidikan adalah untuk membentuk
manusia Pancasilais sejati berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945.
Selanjutnya dalam UU No. 2 Tahun 1989 ditegaskan lagi bahwa pendidikan nasional
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kurikulum Pendidikan. Dalam
PJP I telah dilakukan tiga kali perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu
apa yang dikenal sebagai: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984. Di dalam kurikulum
1968 dirumuskan bahwa tujuan pendidikan ialah membentuk manusia Pancasilais
sejati. Isi pendidikannya ialah untuk mempertinggi moral, akhlak dan keyakinan
agama, mempertinggi keterampilan dan kecerdasan, dan mempertinggi mutu
kesehatan fisik yang kuat. Namun demikian, salah satu ciri utama kurikulum 1968
ini yaitu organisasi kurikulumnya masih berorientasi kepada bahan/mata
pelajaran.
Dengan mengacu kepada Tap MPR
No. II/MPR/1973 tentang GBHN dan dengan menampung berbagai hasil percobaan
dalam bidang pendidikan waktu itu, maka kurikulum 1968 diperbaharui dengan
kurikulum 1975. Kurikulum 1975 dikembangkan dengan menggunakan Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang selanjutnya dijabarkan ke dalam
Satuan Pelajaran atau Modul. Ciri utama kurikulum 1975 yaitu organisasi
kurikulumnya yang berorientasi kepada tujuan pendidikan, menekankan CBSA dan
konsep belajar tuntas. Memang dalam pelaksanaan kurikulum 1975 ini hierarkhi
tujuan pendidikan menjadi jelas, namun demikian kurikulum ini masih bersifat
sentralistik.
Dengan lahirnya Tap MPR No.
II/MPR/1983 tentang GBHN, dan berbagai masukan dari Komisi Pembaharuan
Pendidikan Nasional (KPPN), Kurikulum 1975 diperbaharui lagi dengan Kurikulum
1984. Hasil percobaan di Cianjur tentang CBSA lebih memantapkan penyusunan
kurikulum tersebut. Pada tingkat SMA, kurikulum ini terdiri atas Program Inti
dan Program Pilihan. Juga dibedakan antara Program A untuk jalur akademik dan
Program B untuk siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi sehingga
memperoleh program-program latihan kekaryaan. Sayang sekali kurikulum ini tidak
dapat dilaksanakan sepenuhnya, seperti program B tidak dapat dilaksanakan
karena keterbatasan tenaga maupun biayanya. Selain itu Kurikulum 1984 juga
masih bersifat sentralistik. Contoh kekurangan tenaga antara lain ditunjukkan
oleh hasil penelitian Konsorsium Ilmu Pendidikan bahwa 40% guru SMP dan 33%
guru SMA mengajarkan mata pelajaran di luar bidang keahliannya. Demikian pula
bahwa kurikulum tersebut tidak didesiminasikan ke LPTK-LPTK sehingga
calon-calon guru tidak mengetahui apa sebenarnya isi kurikulum 1984.
Kurikulum Pendidikan Kejuruan.
Dalam Pelita I selain penyempurnaan sistem sekolah kejuruan, juga ditingkatkan
mutu pendidikannya terutama mutu guru dan laboratoriumnya. Dengan dana pinjaman
Bank Dunia diadakan berbagai usaha untuk meningkatkan pendidikan teknik menengah.
Beberapa STM ditingkatkan, juga membangun apa yang disebut Sekolah Teknik
Menengah Pembangunan, diadakan bengkel-bengkel latihan pusat yang dapat
digunakan beberapa STM termasuk STM swasta. Usaha perbaikan kurikulum terus
menerus, baik melalui dana pinjaman dari ADB (Asian Development Bank), juga
bantun teknis dari negara-negara sahabat, seperti Australia, Swisss, dan
Austria. Memang dengan usaha-usaha itu beberapa STM atau pusat pelatihan tenaga
teknik seperti yang ada di Bandung dengan bantuan pemerintah Australia telah
dapat menjembatani hubungan antara kurikulum STM atau pusat pelatihan guru
teknik dengan dunia industri yang berada di sekitarnya. Namun berbagai usaha
tersebut secara keseluruhan belum dapat memenuhi kebutuhan baik mengenai jumlah
sekolah kejuruan maupun mutunya. Kurikulum sekolah kejuruan masih terasa masih
terlalu banyak mata pelajaran teorinya dan masih terbatas latihan-latihan prakteknya
yang justru sangat diperlukan. Peningkatan mutu kurikulum sekolah kejuruan tersebut
mengalami kesulitan antara lain juga karena dunia industri kita pada saat itu masih
belum menyadari pentingnya kaitan antara sekolah kejuruan dengan sekolah kerja (H.A.R.
Tilaar, 1995).
Kurikulum Pendidikan Tinggi
(PT). Usaha-usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan tingi termasuk
kurikulumnya juga telah dilaksanakan selama PJP I. Salah satu usahanya adalah
dengan mengganti sistem kontinental dengan sistem anglo saxis, yaitu dengan
penerapan sistem kredit semester (Sistem SKS) pada pertengahan tahun 1970-an. Maksudnya adalah untuk meningkatkan
efisiensi internal dari PT yang pada saat itu memang sangat rendah. Selain
Sistem SKS, juga mata-mata kuliah yang diajarkan dikaji dan disesuaikan dengan
kemajuan ilmu dan teknologi. Dalam rangka inilah dibentuk apa yang disebut
konsorsium perguruan tinggi menurut program studi yang disajikan di PT.
Sarana, Prasarana Pendidikan.
Perkembangan pendidikan di Indonesia selama PJP I secara kuantitatif merupakan
fenomena yang menakjubkan, bukan hanya bagi kita sendiri tetapi juga bagi dunia
luar. Secara akumulatif pertumbuhan rata-rata siswa SD selama PJP I sekitar 50%
pertahun, SLTP 150%, SLA 220%, dan Perguruan Tingi (PT) 320%. Angka partisipasi
kasar SD dari 64% pada permulaan PJP I menjadi 99,7% pada akhir PJP I; SMTP
dari 16,9% menjadi 66,7%; SMTA dari 8,6% menjadi 45,1%; dan PT dari 1% menjadi
11% (H.A.R. Tilaar,1995)..
Pertumbuhan jumlah
siswa/mahasiswa di berbagai jenjang dan jenis pendidikan tersebut tentu saja
disertai pula dengan penambahan prasarana dan sarana pendidikan. Antara lain:
gedung-gedung sekolah baru, penambahan ruang belajar, buku-buku pelajaran,
pengadaan sarana-sarana pembantu proses belajar-mengajar, pembangunan sarana
fisik Perguruan Tinggi, dan pembangunan sarana pendidikan dasar melalui Inpres Pembangunan
SD. Prasarana dan sarana pendidikan memang telah banyak dibangun selama PJP I,
namun demikian pengadan prasarana dan sarana pendidikan tersebut ternyata masih
belum dapat memenuhi kebutuhan.
Wajib Belajar. Melalui program
pembangunan di atas, dan dengan dicanangkannya Wajib Belajar Sekolah Dasar
sejak tanggal 2 Mei 1984, maka pada akhir Pelita II kesempatan belajar
anak-anak usia 7-12 tahun praktis telah dicapai, walaupun tentunya masih
terdapat sejumlah anak-anak yang hidup terpencil, anak-anak luar biasa, maupun
putus sekolah yang masih harus dituntaskan di dalam pembangunan selanjutnya (pada
tahun 1988/1989 atau akhir Pelita IV angka partisipasi SD telah mencapai 99,6% dari
jumlah anak usia 7-12 tahun yaitu 30.182.900 anak). Wajib Belajar SD Enam Tahun
pada Pelita V telah diperluas dengan perintisan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan
Tahun. Sebab itulah UNESCO pada tahun 1994 menganugerahkan Bintang Aviciena
kepada Presiden Republik Indonesia sebagai pengakuan peranan pemerintah Indonesia
dalam memajukan pendidikan rakyat (H.A.R. Tilaar, 1995).
Tenaga Kependidikan dan
Lembaga PendidikanTenaga Kependidikan (LPTK). Berkenaan dengan hal ini dalam
PJP I antara lain terdapat dua masalah pokok, yaitu: kekurangan tenaga pengajar yang berwenang pada
semua jenis dan tingkat pendidikan, dan 2) masalah peningkatan mutu Tenaga
Kependidikan dan LPTK.
1)
Kekurangan tenaga pengajar yang berwenang
pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Pada tahun 1989/1990 untuk SD
terdapat kekurangan tenaga hampir 600.000 orang. Ditambah lagi dengan
kulaifikasi guru SD banyak yang belum memenuhi persyaratan. Untuk SLTP dan SLTA
masalahnya berlainan, walaupun secara makro terdapat kelebihan guru, tetapi
dalam kenyataannya terdapat kekurangan guru yang parah karena memusatnya para
guru di kota-kota. Selain itu banyak mata pelajaran yang tenaga gurunya tidak
mencukupi. Yang sangat kekurangan adalah guru-guru IPA dan Matematika. Sekitar
40% guru matematika di SMP sebenarnya berlatar belakang sebagai guru agama,
sosiologi, antropologi dan ilmu sosial lainnya. Sekita 30% guru SMA mengajar
mata pelajaran yang bukan kemampuan/keahliannya. Mengenai ijazah tertinggi yang
dimiliki para guru SMP Negeri: 8,3% dari 204.125 orang guru SMP Negeri belum lulus
SLTA, separohnya memiliki ijazah PGSLP atau D1, 17,1% berijazah PGSLP atau D2,
dan hanya 24,2 % berijazah Sarjana Muda atau S1. Selanjutnya di SMA Negeri dan Swasta
terdapat 4,5% guru belum tamat SLTA, 3,6% berijazah PGSLP atau D1, 58,4% berijazah
PGSLA atau D3, dan sisanya 33,5% berijazah sarjana muda atau S1.
Pada tahun 1989 dari sekitar
11 ribu dosen pada 30 IKIP dan FIP Negeri baru 3% berkualifikasi S3, 10% S2 dan
87% berkualifikasi S1. Keadaan ini tentu saja mempengaruhi usaha untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Masalah pemenuhan kekurangan tenaga kependidikan
yang berwenang terhambat bukan hanya karena penyebaran yang tidakmerata tetapi
juga karena masalah dana yang tidak mencukupi.
2)
Masalah peningkatan mutu Tenaga
Kependidikan dan LPTK.
Dalam PJP I telah diambil
keputusan untuk meningkatkan kualifikasi guru SD dengan Diploma I dan II, guru
SMP dengan D III dan untuk SMA semakin lama semakin dipegang oleh lulusan S1.
Berkenaan dengan hal di atas, telah dilakukan pula pembaharuan dalam bentuk
likuidasi SPG dan SGO menjadi Program DII Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Untuk
PT telah didirikan berbagi Program Pascasarjana (S2, S3) dengan tujuan utama
untuk meningkatkan mutu para dosen PT. Bea siswa dari dalam dan luar negeri
telah lama dilaksanakan, demikian pula telah didirikan beberapa Pusat Antar Universitas
(PAU atau inter-university center). Selain itu untuk meningkatkan ilmu pendidikan
telah didirikan Konsorsium Ilmu Pendidikan (H.A.R. Tilaar, 1995).
Pendidikan Kejuruan, Pelatihan
dan Ketenagakerjaan. Konsep keterkaitan antara pendidikan nasional dan dunia
kerja yang telah dirintis sejak Pelita I dalam pelaksanaannya pada
Pelita-Pelita berikutnya mengalami berbagai hambatan. Setiap sektor termasuk
sektor pendidikan dan tenaga kerja masing-masing berjalan sendiri sendiri.Akibatnya
terjadilah ketidakserasian antara output sistem pendidikan nasional dengan
kebutuhan tenaga kerja (muncul masalah relevansi atau masalah link and match).
Sistem pendidikan telah
menghasilkan tenaga terdidik tetapi tidak terampil, sehingga pengangguran makin
lama semakin besar jumlahnya. Pada PJP I
kualitas manusia Indonesia memang meningkat, termasuk pula pendidikannya.
Contoh: antara tahun 1971-1990 penduduk yang tidak berpendidikan berkurang dari
42,5% menjadi 18,9%. Pada Tahun 1971 penduduk yang tamat SD baru 21,6%,
sedangkan tahun 1990 menjadi 30,1%. Begitu pula untuk tingkat SLTP dan SLTA
naik lebih dari 300% dan untuk tingkat PT menjadi hampir lima kali lipat.
Naiknya tingkat pendidikan
manusia Indonesia berpengaruh terhadap latar belakang pendidikan tenaga kerja
kita. Makin tinggi latar belakang pendidikan tenaga kerja diharapkan akan
semakin tinggi pula produktivitasnya. Namun demikian, pada tahun 1990 tingkat
produktivitas tenaga kerja Indonesia adalah terendah di ASEAN. Selain itu apabila
pada tahun 1971 terdapat 840.000 orang penganggur, maka pada tahun 1990 meningkat
tiga kali lipat yaitu hampir mencapai 2,5 juta orang penganggur. Memang tercatat
pula bahwa jumlah penduduk yang bekerja juga meningkat, yaitu jika pada tahun 1971
baru sekitar 40 juta, maka pada tahun 1990 menjadi 72 juta. Keadaan di atas
menunjukkan adanya masalah relevansi dan atau kurangnya keterkaitan dan
kesepadanan antara output pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja. Contohnya:
terdapat kelebihan lulusan SLTA kejuruan, tetapi sebenarnya di lapangan terdapat
kekurangan yang besar mengenai tenaga-tenaga tamatan SLTA Kejuran Teknik.
Terdapat pula masalah
koordinasi mengenai pendidikan kejuruan, pelatihan dan ketenagakerjaan ini,
yaitu simpang siurnya mengenai tanggung jawab pembinaan pendidikan menurut
Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974 (mengenai tugas Menteri Pendidikan,
Menteri Tenaga Kerja, dan Ketua LAN) dengan PP No. 73 Tahun 1991 yang mengacu
pada UU RI No. 2 Tahun 1989 yang mengatur tentang Pendidikan Luar Sekolah yang
juga mengatur tugas PLS yang mencakup berbagai jenis pelatihan (kursus).
Selain hal di atas, masih
dirasakan perlunya peningkatan partisipasi masyarakat (industri, dsb) dalam
rangka pendidikan dan pelatihan (H.A.R. Tilaar, 1995). Pendidikan Tinggi.
Selama PJP I pemerintah telah melakukan upaya peningkatan pemerataan pendidikan
tinggi, yaitu melalui pembangunan sarana fisik PTN-PTN serta sarana penunjang
lainnya dengan menggunakan “strategi bertahap bergilir”. Dalam peningkatan
pemerataan PT ini partisipasi PTS begitu besar. Tercatat data bahwa pada tahun
1993/1994 jumlah PTN hanya 51, sedangkan PTS berjumlah 1035. Upaya-upaya itu
telah memperbesar angka partisipasi pendidikan tinggi. Jika pada tahun 1968
tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 1,6% (156.000 orang), maka pada akhir
PJP I menjadi 11% (2.491.100 orang).
Peningkatan angka partisipasi
pendidikan tinggi memang cukup menggembirakan, sekalipun jika dibandingkan
dengan di negara lain masih jauh tertinggal. Namun demikian relevansi dan mutu
pendidikan tinggi masih perlu terus ditingkatkan. Contoh: di satu pihak
terdapat kelebihan produksi sarjana, di pihak lain terdapat kekurangan
tenaga-tenaga sarjana dalam bidang-bidang tertentu. Hal ini berkaitan dengan
masalah kurikulum PT tersebut. Komposisi jenis-jenis program studi yang ada
menunjukkan bahwa program studi ilmu sosial dan ilmu pendidikan/keguruan lebih
banyak disbanding dengan program studi lainnya. Pengangguran sarjana menunjukkan
lebih besar pada kedua jenis program studi tersebut.
Mutu pendidikan tinggi kita
memang bervariasi mulai dari mutu yang paling tinggi sampai dengan yang sangat
diragukan. Hal ini ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: mutu dosennya
yang kebanyakan masih berkualifikasi S1, belum cukup tersedianya sarana
penunjang seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, serta biaya
operasional yang belum memadai. Selain itu juga kualitas raw input ke PT yang berlatarbelakang
NEM antara 4-6 (H.A.R. Tilaar, 1995).
Inovasi Pendidikan. Selama PJP
I dan sudah sejak Pelita I keinginan untuk melakukan inovasi pendidikan sangat
besar. Bahkan sejak sebelum Pelita I dimulai telah dilakukan upaya-upaya untuk
melakukan identifikasi masalah-masalah pendidikan agar dapat dilakukan
usaha-usaha peningkatan sistem dan peningkatan mutu pendidikan nasional. Selain
berkenaan dengan tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, sarana/prasarana
pendidikan dan wajib belajar, pelaksanaan beberapa inovasi pendidikan selama
PJP I yaitu: Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), Proyek Pamong, Proyek CBSA,
STEPPES, COPLANER, dan Primary Education Quality Improvement Project (PEQIP).
Sayang sekali berbagai inovasi
pendidikan yang telah dilaksanakan banyak menghadapi kemandegan dan tidak
berkelanjutan (HAR Tilaar ,1995). Pembiayaan. Sumber dana pembangunan
pendidikan pada PJP I berasal dari dana rupiah dan dana yang diperoleh dari
kerja sama luar negeri. Di dalam pembiayaan pendidikan terdapat berbagai sumber
yaitu: 1) Pemerintah yang dapat berupa biaya rutin, biaya pembangunan, biaya
INPRES SD, dan subsidi batuan pembangunan pendidikan (SBPP). 2) Sumbangan
Pembinaan Pendidikan (SPP). 3) Sumbangan untuk badan pembantu pembinaan
pendidikan (BP3).
Jumlah dana pembangunan untuk
sektor pendidikan pada Pelita I sebesar 83,8 milyar rupiah (6,8% dari jumlah
dana pembangunan) , adapun pada Pelita V meningkat menjadi 9 trilyun rupiah
(11,4% dari jumlah dana pembangunan). Jadi jumlah dana pembangunan sektor
pendidikan selama PJP I mencapai 20 trilyun rupiah. Dana sektor pendidikan ini
belum lagi ditambah dari dana rutin, SPP, dll.
Kualitas Pendidikan.
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu selama PJP I telah banyak upaya
pembangunan di bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
nasional. HAR Tilaar (1995) menunjukkan kualitas pendidikan pada PJP I antara
lain dengan indikator sebagai berikut:
1)
Dana
Pendidikan (Pendidikan Dasar): Belum memadainya dana yang tersedia untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Pada tahun 1991 unit cost untu siswa SD tidak
lebih dari 5 US $, sedangkan negara maju menyediakan 105,5 US $.
2)
Kelulusan
SD: Persentase jumlah siswa yang menamatkan SD pada tahun 1989 sekitar 70%,
sedangkan di negara maju mencapai 91%. Data ini menunjukkan pula bahwa SD kita
pada saat itu mengalamai ketidak efisienan dengan data rasio input-output sebesar
70%, sehingga rata-rata waktu yang diperlukan untuk menamatkan SD adalah 8,5
tahun.
3)
Prestasi
membaca komprehensif juga dinilai sangat kurang dibanding dengan di negara
maju.
4)
Daya
Serap terhadap isi kurikulum: Rata-rata hasil EBTANAS Murni siswa SMA pada
tahun 1987-1990 menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan kita.
Misalnya untuk mata pelajaran
PMP dan Bahasa Indonesia rata-ratanya 6; sedangkan B. Inggris, Matematika,
Fisika, Biologi, dan Kimia antara 4-5. Artinya
daya serap lulusan SMA kurang dari 50% dari apa yang ditentukan dalam Kurikulum
1984.
Selain hal di atas, kita juga
mengetahui bahwa jumlah pengangguran semakin meningkat. Apabila tahun 1971
tercatat 840.000 orang, maka pada tahun 1990 menjadi hampir 2,5 juta orang.
Pengangguran itu pun adalah banyak dari lulusan sekolah dan perguruan tinggi.
Di satu pihak terdapat kelebihan lulusan SLTA dan PT, di lain pihak terdapat
kekurangan tenaga-tenaga tertentu dari lulusan SLTA dan PT tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zaman Purba. Kebudayaan
zaman ini dikenal sebagai paleolitik dan neolitik, masyarakat tidak memiliki
stratifikasi sosial yang tegas (egaliter), adapun kepercayaan yang dianut
adalah animisme dan dinamisme. Implikasinya, pendidikan bertujuan agar generasi
muda dapat mencari nafkah, membela diri, hidup bermasyarakat, dan taat terhadap
adat dan nilai-nilai religi. Saat ini pendidikan berlangsung di dalam keluarga
dan kehidupan masyarakat secara alamiah (belum berlangsung secara formal).
Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada awalnya (1596)bangsa Belanda datang ke
Indonesia untuk berdagang, mereka mendirikan VOC (1602). Selain berusaha menguasai
daerah untuk berdagang, juga untuk menyebarkan agama Protestan. Sejak tahun 1800-1942 negeri kita menjadi jajahan
Pemerintah Kolonial Belanda. Karaketristik kondisi sosial budaya pada zaman ini
antara lain: (1) berlangsungnya penjajahan, kolonialisme; (2) dalam bidang
ekonomi berlangsung monopoli perdagangan hasil pertanian yang dibutuhkan dan
laku di pasar dunia; (3) terdapat stratifikasi sosial berdasarkan ras atau suku
bangsa.
Bangsa Indonesia terus
berjuang melawan penjajahan Belanda, perlawanan dan pemberontakan dilakukan
oleh berbagai kelompok bangsa kita di berbagai daerah di tanah air. Penjajahan
yang telah berlangsung lama benar-benar telah mengungkung kemajuan bangsa
Indonesia, dan mengakibatkan kemelaratan serta kebodohan. Dengan semakin
sadarnya bangsa Indonesia akan makna nasionalisme dan kemerdekaan, pada awal abad ke-20 (sejak kebangkitan nasional
tahun 1908) lahirlah berbagai pergerakan. Pergerakan nasional berlangsung dalam
jalur politik maupun pendidikan.
Pendidikan oleh Kaum Pergerakan Nasional. Faktor intern yang menimbulkan pergerakan
kebangsaan (pergerakan nasional) antara lain adalah: 1) Penderitaan dan berbagai
kondisi yang merugikan bangsa Indonesia akibat kebijakan pemerintah kolonial Belanda
telah menimbulkan rasa senasib sepenanggungan sebagai bangsa yang dijajah sehingga
muncul rasa kebangsaan/nasionalisme. 2) Kebesaran masa lampau bangsa kita juga
memperkuat rasa harga diri sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka. 3) Kaum terpelajar
di kalangan bangsa kita terdorong untuk berperan menjadi motor pergerakan. 4) Bahasa
melayu yang merupakan bahasa kesatuan makin menyadarkan bahwa bangsa Indonesia
adalah satu bangsa. 5) Karena mayoritas bangsa Indonesia memeluk agama Islam,
maka timbul persepsi bahwa Belanda adalah Kafir.
Pendidikan Zaman Pendudukan Militerisme Jepang. Sesuai kondisi politik saat ini, tujuan
pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah Pendudukan Jepang diarahkan demi
kepentingan memenangkan Perang Asia Timur Raya bagi Jepang. Karakteristik
pendidikannya adalah: 1) hilangnya sistem dualisme pendidikan, 2) kesempatan
untuk sekolah terbuka bagi setiap lapisan masyarakat, 3) susunan jenjang sekolah
menjadi SR 6 Th., SM 3 Th., SMT 3 Th., dan PT., 4) hilangnya sistem konkordansi
5) bahasa Indonesia untuk pertama kalinya dijadikan bahasa pengantar, sedangkan
bahasa Belanda dilarang sebagai bahasa pengantar di sekolah.
Periode 1945-1969.
Pada tgl. 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi
Negara. Sejak saat
itu jenjang dan
jenis pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan bangsa
Indonesia. Sekalipun pada tahun 1949 terjadi perubahan dasar negara yaitu
dengan UUD RIS,
tetapi pendidikan nasional
tetap dilaksanakan sesuai amanat UUD 1945. Sejak tahun 1950
bangsa Indonesia telah mempunyai UU RI No. 4 Tahun 1950 tentang “Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah” yuncto UU RI No. 12 Tahun 1954. Di dalam
Pasal 3 UU ini termaktub bahwa “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah
membentuk manusia susila
yang cakap dan
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
tentang kesejahteran masyarakat dan tanah air”. Adapun Pasal 4 menyatakan:
“Pendidikan dan pengajaran berdasar asas-asas yang termaktub dalam “Panca Sila”
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan
Indonesia”.
Era PJP I (1969-1993).
Sejak zaman Orde
Baru dan dalam era PJP
I dasar pendidikan
dikembalikan kepada Pancasila
dan UUD 1945.
Pendidikan nasional ditujukan untuk membentuk manusia
Pancasilais sejati
berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan Isi UUD 1945, yang kemudian di
dalam UU No. 2 Tahun 1989 ditegaskan lagi bahwa pendidikan
nasional bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Sejak awal Pelita I PJP I
telah dilakukan identifikasi masalah-masalah pendidikan nasional,
selanjutnya pembangunan pendidikan dilakukan secara bersinambungan pada setiap
Pelita. Selama PJP I telah dilakukan tiga kali
pembaharuan kurikulum sekolah,
yaitu kurikulum 1968,
1975 dan 1984; penambahan dan perbaikan sarana maupun
prasarana pendidikan; Inpres SD; Upaya peningkatan jumlah dan mutu tenaga kependidikan; serta
dilakukan berbagai inovasi pendidikan
lainnya demi meningkatkan partisipasi,
relevansi, efisiensi, efektivitas dan mutu pendidikan nasional.
Untuk itu, pembangunan pendidikan
dibiayai baik dengan menggunakan
dana rupiah maupun dana hasil kerjasama luar negeri. Memang banyak hasil
pembangunan pendidikan selama PJP I yang telah di raih, namun demikian
permasalahan pendidikan masih tetap belum terpecahkan secara keseluruhan dan
masih harus terus diupayakan melalui pembangunan pendidikan pada PJP
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djumhur, I dan Danasuparta, (1976), Sejarah
Pendidikan, CV. Ilmu, Bandung.
Ibrahim,
Thalib (Penyadur), (1978),
Pendidikan Mohd. Sjafei
INS Kayu Tanam, Mahabudi,
Jakarta.
Majelis Luhur Persatuan Taman siswa, (1977), Karya
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, Majelis Luhur Taman Siswa,
Yogyakarta.
Muchtar,
O., (1976), Pendidikan
Nasional Indonesia, Pengertian
dan sejarahPerkembangan, Balai Penelitian Pendidikan IKIP Bandung.
Poerbakawatja, S., (1970), Pendidikan dalam Alam
Indonesia Merdeka, Gunung Agung, Jakarta.
Soejono, Ag., (1979), Aliran-Aliran Baru dalam
Pendidikan; Bagian ke-2, CV. Ilmu, Bandung.
Suhendi, Idit, (1997), Dasar-Dasar Historis dan
Sosiologis Pendidikan, dalam Dasar- Dasar Kependidikan,
IKIP Bandung.
Tilaar, HAR., (1995), 50 Tahun Pembangunan
Pendidikan Nasional 1945-1995, Suatu
Analisis Kebijakan, PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta. Tirtarahardja, U. dan La Sula (1995), Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.
No comments:
Post a Comment