BAB I
PENDAHULUAN
A. Lantar Belakang
Pandangan Islam
terhadap islam
adalah konsep yang dimiliki seseorang yang bermaksud menanggapi dan menerangkan
segala masalah di dunia,Islam
ialah kata jadian Arab,Asalnya
dari kata jadian juga: aslama,Akar
katanya ialah salima, berarti: sejahtera, tidak tercela, tidak bercacat,Dari kata itu terjadi kata masdar:
salamat (dalam bahasa Malaysia/Indonesia menjadi
selamat),seterusnya salm dan silm,Salam dan silm berarti: kedamaian,kesejahteraan,kepatuhan
penyerahan diri kepada Tuhan,Kata
salam dijumpai dalam ucapan assalaamu’alaikum,
sejahterahlah atas kamu. Orang Islam bila bertemu antara sesamanya tidak
mengucapkan selamat pagi atau selamat malam, melainkan mendo’akan salam atau
kesejahteraan orang yang dijumpainya itu. Sejahtera berarti: aman dan makmur,
senang dan tentram, terpelihara dalam bencana, kesusahan, gangguan dan
lain-lain. Dengan demikian kata itu mengandung pengertian keselamatan dan
kesenangan, yang jadi naluri asasi manusia.
Manusia adalah individu
yang terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain (materi)
yang membentuk jasad. Manusia, dalam pandangan Islam, adalah makhluk yang
memiliki identitas istimewa. Ia bukan malaikat, tetapi juga bukan setan. Ia
dapat terjatuh sehingga berkualitas seperti setan. Ia, dengan keluhuran
rohaniannya, juga dapat mencapai kualitas kemalaikatan. Dalam spektrumnya yang
alami, yang merupakan tarikan antara setan dan malaikat, ia mengandung sifat
antara kebaikan dan kejahatan, yang mungkin saja tidak asing bagi sifatnya atau
tidak berasal dari luar.Di antara hal yang memuliakan dan melebihkan manusia
adalah bahwa Allah telah memberikan kepadanya kemampuan untuk belajar dan
berpengetahuan, serta membekalinya dengan segala peralatan kemampuan.
Tugas paling luhur
manusia ialah beribadah kepada Allah. Inti seluruh tanggung jawab ini adalah
tanggung jawab manusia terhadap ibadah kepada Allah dan pentauhidan-Nya; yakni
memurnikan ibadah hanya kepada Allah Semata.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengertian manusia ?
2.
Apa pengertian manusia secara Islam ?
3.
Bagaimana pandangan Islam terhadap manusia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Manusia senantiasa
keliru dalam memahami dirinya. Kadangkala ia cenderung untuk bersikap superior,
sehingga memandang dirinya sebagai makhluk yang paling besar dan agung di alam
ini. Bahkan superioritas ini
diserukannya dengan penuh keakuan, kecongkakan dan kesombongan.
Kadangkala pula dia
cenderung untuk bersikap imferior, sehingga memandang dirinya sebagai makhluk
yang paling hina dan rendah di dunia ini. Karena itu dia bersujud kepada pohon,
batu, sungai, gunung atau binatang. Menurut keyakinannya, keselamatan hanya kan
diperoleh jika dia bersujud kepada matahari, bulan, bintang, api dan
makhluk-makhluk lain yang dipandangnya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk
memberikan bahaya atau manfaat kepadanya.
Islam telah menjelaskan
hakikat dan asal diri manusia, keistimwaan dan kelebihannya, tugasnya di dalam
hidup, hubungannya dengan alam, serta kesiapannya untuk menerima kebaikan dan
keburukan.
Hakikat dan asal diri manusia berpangkal
pada dua asal: asal yang jauh, yaitu kejadian pertama dari tanah, ketika Allah
menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan ruh ciptaan-Nya kepadanya; dan asal
yang dekat, yaitu kejadian kedua dari nuthfah.
Di antara hal yang
memuliakan dan melebihkan manusia adalah bahwa Allah telah meberikan kepadanya
kemampuan untuk belajar dan berpengetahuan, serta membekalinya dengan segala
peralatan kemampuan ini.
Tugas paling luhur manusia ialah
beribadah kepada Allah. Inti seluruh tanggung jawab ini adalah tanggung jawab
manusia terhadap ibadah kepada Allah dan pentauhidan-Nya; yakni memurnikan
ibadah hanya kepada Allah Semata.
B. Pandangan
Islam Terhadap Kedudukan Manusia
Manusia mempunyai
kedudukan ganda di alam semesta yang materil ini. Sebagai jasad ia adalah
bagian dari dan berada di dalam alam semesta, tetapi sebagai ruh ia berada di
atas atau di luar alam semesta. Dan karena kedudukannya yang istimewa inilah
manusia dipilih sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini.
Peranan manusia sebagai
“klhalifatullah fil ardh” ini dijelaskan oleh Qur’an suci sebagai berikut:
“Dan Dia-lah yang telah membuatmu
menjadi khalifah di muka bumi dan telah mengangkat sebagian dari kamu di atas
yang lain guna mengujimu dengan sesuatu yang telah diberikan pada kamu sekalian
”. (Q.S, al-An’am, 6: 165).
Tetapi, lepas dari
kekuasaannya sebagai khalifah, manusia juga mempunyai kewajiban-kewajiban
khusus kekhalifahan. Seperti seorang duta yang wajib mencerminkan sifat-sifat
mulia bangsa, yang mengangkatnya sebagai duta dalam setiap perbuatannya, maka
manusia sebagai wakil Tuhan di muka bum wajib mencerminkan sifat-sifat mulia di
dalam setiap perbuatan dan ciptaannya. Demikian pula sebagai seperti seorang
duta yang harus tetap tunduk hukum-hukum bangsa yang memberinya kekuasaan
sebagai wakil bangsa di samping is harus tunduk pada hukum-hukum negara tempat
ia bertugas, maka manusia pun harus tunduk pada hukum-hukum spiritual Ilahi di
samping harus tunduk pada hukum-hukum alam materil.
Walaupun manusia adalah
khalifah Tuhan, hal ini tidaklah boleh menimbulkan kesombongan di hati manusia,
karena sebenarnya manusia tetaplah merupakan hamba atau abdi-Nya sesuai dengan
pernyataan Allah SWT dalam ayat suci yang berbunyi:
“Tidaklah Ku-jadikan jin dan manusia
kecuali untuk mengabdi Aku”. (Q.S. al-Dzariyat, 51: 56)
C. Pandangan Islam Terhadap Keyakinan
Manusia
Keyakinan tentang
manusia itu makhluk yang termulia dari segenap makhluk dan wujud lain yang ada
di alam jagat ini. Allah karuniakan keutamakan yang membedakannya dari makhluk
lain. Allah membekali manusia dengan beberapa ciri tertentu yang akan terangkan
kelak kebahagiannya. Dengan karunia itu manusia berhak mendapat penghormatan
dari makhluk-makhluk lain. Peri manusia di cipta dari segumpal darah atau dari
tanah atau dari mani berubah menjadi segumpal darah. Ayat yang menjelaskan
tentang kejadian manusia umumnya adalah dalam kontek memberi penghormatan atau
supaya diambil i’tibar dari kejadian itu. Antaranya ada yang melukiskan tentang
kekuasaan Allah untuk membangkit atau menghidupkan kembali insan itu dari
kuburnya maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia ciptakan.
Keutamaan lebih
diberikan kepada manusia dari makhluk lain,Manusia dilantik menjadi khalifah dibumi
untuk memakmurkannya. Untuk itu dibebankan kepada manusia amanah attaklif.
Diberikan pula kebebasan dan tanggung jawab memliki serta memelihara
nilai-nilai keutamaan. Keutamaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya,
bukan juga karena warna, kecantikan, perawatan, harta, derjat, jenis profesi
dan kasta sosial atau ekonominya. Tetapi semata-mata karena imam, takwa,
akhlak, ketinggian akal, dan amalnya. Karena manusia sanggup memikul tanggung
jawab terhadap diri dan masyarakat,Karena
ia dapat menggunakan pengetahuan serta kepandaian. Pendek kata manusia
diberikan status demikian itu karena ciri dan sifat utama yang di karuniakan Allah
kepadanya,
Ciri-ciri itu tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lain. Sebab itu, layaklah
manusia diberi karunia dan keutamaan dari Allah. Memang banyak karunia yang
diberikan kepada manusia karena manusia mempunyai motivasi,kecenderungan dan
kebutuhan permulaan baik yang diwarisi dan diperoleh dalam proses sosialisasi
yaitu yang diperoleh ketika berinteraksi dengan element lingkungan yang
bersifat benda, manusia atau kebudayaan.
D.
Pandangan Islam Dan Manusia
Manusia dalam pandangan
Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri. Dalam Al-Qur’an, manusia
berulang-kali diangkat derajatnya, berulang-kali pula direndahkan. Mereka
dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan para malaikat; tetapi,
pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan
terkutuk dan binatang jahanam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang
mampu menaklukan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling
rendah dari segala yang rendah”. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah
yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri.
Manusia adalah khalifah
Tuhan di Bumi. Dibandingkan dengan semua makhluk yang lain, manusia mempunyai
kapasitas inteligensia yang paling tinggi. Manusia mempunyai kecenderungan
dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh
di dasar sanubari mereka. Kesimpulannya, manusia adalah suatu makhluk pilihan
Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang
semi-samawi dan semi-duniawi, yang didalam dirinya ditanamkan sifat mengakui
Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam
semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit, dan bumi. Manusia
dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan
mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke
arah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali
jika mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas,
baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki
suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka, dalam
banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Akhirnya, mereka dapat secara leluasa
memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada saat
yang sama, mereka harus menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.
E. Pandangan Islam Terhadap Khilafah
Manusia pemegang mandat
“Khilafah”. Doktrin al-Qur’an menetapkan, bahwa manusialah satu-satunya makhluk
yang diberi mandat oleh Allah untuk mengelola dan mendayagunakan sumber daya
dan kekayaan alam. Mandat yang disebut sebagai “Khalifah Allah di bumi”.
Manusia memperoleh semacam hak konsesi untuk eksplorasi (penjelajahan untuk
mencari sumber kekayaan alam), eksploitasi (pengambilan kekayaan dan sumbernya)
serta pemanfaatan kekayaan tersebut dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan
peningkatan kualitas hidupnya sebagai makhluk budaya. Tetapi disisi lain,
manusia bertanggung jawab kepada Allah dalam menggunakan hak atau mandat
tersebut.
“Dan Dialah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi, dan Dia yang mengangkat beberapa
derajat sebagian diantaramu melebihi yang lain, untuk mengujimu tentang apa
yang telah diberikan-Nya padamu”.
Referensi al-Qur’an
memberi petunjuk kepada manusia agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai
“Khalifah Allah di bumi” dengan efektif melakukan beberapa kegiatan eksekutif
yang elementer, seperti penaklukkan sumber daya alam (at-tashkir). Sampai
dengan masanya turun al-Qur’an, masih banyak manusia yang menyembah kekuatan
alam, baik dalam bentuk animisme dan fetisisme. Al-Qur’an memberikan konsep
yang radikal untuk mengubah pandangan dan sikap manusia terhadap alam, yakni
alam semesta ini bukan merupakan kekuatan yang disembah dan dipertuhankan,
melainkan perlu dijinakkan dan dikendalikan untuk kemaslahatan dan
kesejahteraan hidup manusia, dan dipakai untuk mengembangkan tingkat peradaban
manusia.
Dengan demikian maka
perintah “meneliti dan observasi” tidak terbats untuk “mengetahui sesuatu”,
tapi dilanjutkan dengan tahap eksplorasi, eksploitasi dan pendayagunaannya
untuk keperluan kesejahteraan dan peradaban/civilisasi umat manusia.
F.
Pandangan Al-Qur’an Terhadap Manusia
Al-Qur’an memandang
manusia sebagai makhluk moral, yang mampu membedakan antara yang baik dan yang
buruk, serta memiliki kebebasan untuk memilih ke duanya. Tidak ada petunjuk
pasti tentag kebaikan dan keburukan yang melekat pada diri manusia- al-Qur’an
memperingatkan akan adanya manusia yang berdo’a (memohon) bagi kejahatan
(syarr) dan juga memohon bagi kebaikan (khair). Apabila manusia telah
dilengkapi dengan kemampuan untuk menilai baik dan buruk, dan membedakan antara
yang benar dan yang salah, tanpa bantua wahyu Ilahi, maka lembaga kerasulan
jelas akan kehilangan kegunaannya. Dengan ringkas al-Qur’an menyebut kemampuan
manusia untuk menjadi baik atau buruk, sebagaimana dinyatakan-Nya seperti
berikut ini.
“Demi sukma dan
penyempurnaannya (Allah) mengilhami (sukma) kejahatan dan kebaikan. Sungguh,
bahagialah siapa yang menyucikannya, dan rugilah siapa yang mencemarkannya”.
(Al-Qur’an: 91: 7-10).
Manusia, dalam
pandangan Islam, adalah makhluk yang memiliki identitas istimewa. Ia bukan
malaikat, tetapi juga bukan setan. Ia dapat terjatuh sehingga berkualitas
seperti setan. Ia, dengan keluhuran rohaniannya, juga dapat mencapai kualitas
kemalaikatan. Dalam spektrumnya yang alami, yang merupakan tarikan antara setan
dan malaikat, ia mengandung sifat antara kebaikan dan kejahatan, yang mungkin
saja tidak asing bagi sifatnya atau tidak berasal dari luar.
Konsep manusia dalam
Islam mengandung sifat “ganda”, yang menyatakan bahwa manusia terbantuk dari
tanah liat dan roh suci dari Tuhan. Cukup dinyatakan bahwa manusia memiliki potensi untuk berbuat baik, dan juga
untuk berbuat buruk; yang mau menerima tuntunan (Ilahi) tetapi juga dapat
menjadi pembangkang; kemampuan untuk berbuat baik atau jahat. Maka menurut
ajaran Islam, hanyalah manusia yang merupakan makhluk yang dapat bertanggung
jawab. Manusialah yang harus mewujudkan misi Tuhan di dunia dan sekaligus
menjadi kepercayaannya.
G. Pandangan Manusia Terhadap Allah
Allah telah meninggikan
atau mengangkat martabat manusia sebagai individu dengan dilarang-Nya manusia
menyembah selain-Nya, seperti berhala dan lain-lain yang disembah oleh bangsa
Arab yang mereka percaya bahwa berhala-berhala itu berperan sebagai penghubung
atau pendekat mereka kepada Allah.
Allah telah melimpahkan
kemuliaan yang sempurna bagi manusia dengan menghilangkan kekuasaan para
pendeta dan tokoh-tokoh agama, sehingga tidak ada lagi perantara atau pemberi
syafa’at antara Allah dengan manusia. Jadi, tidak ada pendeta atau rahib yang
memberi ampun bagi insan yang berdosa.
Al-Qur’an menggariskan
bahwa tidak ada perantara atau pemberi syafa’at antara Allah dengan manusia.
Tidak ada seorang pun selain Allah yang memiliki atau dapat memberi manfaat dan
mudharat. Hanya amal shaleh yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah.
Seseorang mukmin diukur kedudukannya di sisi Allah dengan amal dan takwanya.
Setelah al-Qur’an
membebaskan manusia dari menyembah berhala dari pengaruh pendeta dan rahib
dengan mnghilangkan wibawa atau kekuasaannya, dan hanya mengakui kekuasaan akal
sehat dan pemikiran yang benar yang dapat mengenal baik dan buruk, maka adalah
logis jika manusia diharuskan bertanggung jawab atas semua perbuatannya, dan
hanya ia sendiri yang memikiul akibat dari amal-perbuatannya.
Manusia dalam pandangan
Islam, merupakan khalifah Allah yang bertugas menjalankan kehidupan dengan
dasar-dasar yang luhur dan cara-cara mencapainya dengan berlandaskan pada: iman
kepada Allah, sumber segala kebaikan, keadilan, amanah dan kesetiaan, toleransi
dan memberi maaf antara sesama manusia dalam hak dan kewajiban serta menghormati
dan memuliakan manusia untuk hidup bahagia dan sejahtera di atas bumi ini.
H.
Pandangan Manusia Terhadap individu
Manusia adalah individu
yang terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain (materi)
yang membentuk jasad.
Sejak semula, salah
satu prinsip dalam Islam adalah menjunjung tinggi martabat manusia, dan
menempatkannya dalam status supremasi diantara makhluk Tuhan lainnya. Referensi
konseptual dalam masalah ini cukup meyakinkan, seperti tertera dalam ayat-ayat
al-Qur’an:
“Sungguh
kami muliakan anak keturunan Adam (manusia)”. (Q.S. Al-Isra’: 70)
Masih banyak lagi dalil
al-Qur’an yang memberi acuan tentang manusia. Dalam fiqih Islam ditetapkan,
bahwa masing-masing individu memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dilindungi. Hak-hak individu itu bebas dilakukan selama tidak menimbulkan
kerugian atau mengganggu hak-hak orang atau masyarakat lainnya. Ada sebuah
kaidah umum yang berlaku: La dlarara wala dlirar (tidak merugikan dan tidak
dirugikan). Untuk menjaga agar tidak terjadi salah pemakaian hak-hak tersebut,
maka syari’ah Islam menetapkan tatanan hukum yang mengatur hubungan antar
individu, maupun antara individu dengan kelompoknya, maka lahirlah yang dikenal
dengan hukum mu’amalat, hukum jinayat, dan lain-lain, Apabila hak-hak tersebut diterapkan
menurut system syara’, maka dampaknya akan merusak dan menimbulkan disentegrasi
sosial. Maka larangan-larangan Allah adalah merupakan batas kemerdekaan
manusiawi secara umum. Dengan demikian maka kebebasan dalam menggunakan hak-hak
asasi manusia dalam Islam,
dikaitkan dengan tanggung jawab sosial (al-maslahah al-mursalah). Dasar umum
dari prinsip ini adalah bahwa manusia tetap dalam kemerdekaan individunya
selama tidak bertubrukan dengan kemaslahatan umum, dan peraturan hukum tidak mencampuri
urusannya, selama tidak terjadi benturan atau tubrukan tersebut.
I. Pandangan Manusia Terhadap Seseorang
Manusia itu seorang
persona, tetapi dalam pada itu masih harus dipersonisasikan. Artinya harus
berevolusi untuk mencapai kepersonaannya. Kepersonaannya masih harus diisi,
dilaksanakan dan disempurnakan. Martabat sebagai persona atau pribadi itu masih
harus diperkembangkan, sehingga menjadi kenyataan yang sepenuh-penuhnya.
Salah satu sifat dasar
manusia lainnya ialah: hasrat untuk berkomunikasi; yaitu untuk berhubungan,
berdialog dan bersatu dengan pribadi lain. Karena itu disebut sebagai makhluk
sosial. Termasuk pula keinginan menjalin komunikasi dengan Pribadi Yang Maha
Sempurna (Tuhan). Sebab dalam usahanya mengembangkan dan mengaitkan pribadinya,
orang menyadari kelemahan, keterbatasan dan ketidaksempurnaannya. Dia belajar
mengenali diri sendiri sebagai makhluk yang serba kurang dan tidak lengkap.
Karena kesadaran inilah timbul hasrat untuk menyerahkan diri kepada belas-kasih
Ilahi, atau kepada “Toi Absolu” (dikau yang maha absolut). Jadi, dia belajar
langsung pada Tuhan.
Maka kemanunggalan diri
manusia dengan Gusti Allah (manunggaling kawula Gusti) itu menjadi tujuan final
dari eksistensi manusia yangotentik, dan menjadi tujuan dari pendidikan
religious. Dalam piwulang (ajaran) Jawa, bersatunya manusia dengan Hakekat
Kosmos/Tuhan itu dilambangkan dengan “wiji ana sajroning uwit, uwit ana
sajroning wiji” (benih ada dalam pohon, pohon ada dalam benih). Jadi ada
kelululah diri/benih sebagai “kawula” atau hamba dengan Dzat Yang Maha Sempurna,Maka keyakinan akan kasih Tuhan itu
memberikan kekuatan dan stabilitas pada manusia; juga melimpahkan energi dan
daya tahan terhadap segala mala dan duka derita; selanjutnya menjamin rasa aman
bahagia. Untuk bisa sampai pada tingkat sedemikian, tidak habis-habisnya
manusia mendidik diri/mesu diri, dalam pengertian “ngulah raga, nyipta karsa,
sarta ngrogoh suksma (melatih bada, mecipta karsa/kemauan, dan mengulik sukma).
J. Pandangan Manusia Terhadap Maklhuk
Manusia adalah maklhuk terhormat pembawa amanah. Tuhan
sudah mengambil keputusan mengangkat manusia sebagai makhluk terhormat melebihi
makhluk-makhluk lainnya, berarti Allah telah menjadikan Bani Adam sebagai
makhluk yang berbudaya. Dan manusia sendiri secara riskan siap memikul amanah
(tugas-tugas), dimana langit, bumi dan gunungpun terasa berat memikulnya.
Manusia telah dibekali perangkat yang memungkinkan untuk memikulnya, dan
perangkat potensi yang tidak dimiliki makhluk lain, antara lain potensi berfikir
kreatif yang mampu bernalar secara kully dan juz’iy, suatu kemampuan yang tidak
dapat ditandingi oleh malaikatpun, karena para malaikat hanya mampu berfikir
secara kully saja.
Manusia memiliki
keistimewaan perangkat potensi, sehingga dia menjadi “makhluk terhormat” itu,
terutama yang berwujud: An-Nafs (jiwa atau pribadi), Al-Qalb (hati nurani),
Ar-Ruh (ruh atau nyawa), dan Al-Aql (pikiran atau nalar).
Islam memerintahkan
kepada manusia agar selalu memperhatikan pengembangan yang menyangkut
eksistensi manusia secara harmonis dan serasi.
Dalam usaha menyiapkan
dirinya dan mengembangkan potensinya agar sampai pada kedudukan sebagai
“pembawa amanah” yang berhasil, tidak dapat bekerja sendiri tanpa memanfaatkan
bimbingan Tuhan, mencari hidayah-Nya, menggapai rahmat-Nya, memegang teguh
fitrah yang diberikannya, baik “fitrah mukhallaqoh” (fitrah yang dibekalkan
manusia sejak diciptakan) maupun “firah munazzalah” (doktrin kehidupan yang
diberikan oleh Allah sebagai acuan bagi manusia dalam menyusuri perjalanan
hidupnya yang peuh tantangan). Didalam konteks inilah al-Qur’an dengan tegas
menyatakan, bahwa peranan Tuhan merupakan sesuatu yang mutlak harus disadari
dan diperhatikan oleh manusia. Jika kesadaran kepada Allah, keimanan dan
ketaqwaan kepada-Nya memberikan arti dan tujuan kepada kehidupan.
KESIMPULAN
Manusia adalah khalifah
Tuhan di bumi,
Oleh karena itu, manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan,
pada kenyataannya, telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas
makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka
mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri
mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan, dan hawa
nafsu.
Al-Qur’an dan as-Sunnah
selalu meminta agar manusia mengisi hidupnya dengan bekerja untuk
mempertahankan kehidupanya, yaitu dengan memanfaatkan apa yang telah Allah
ciptakan baginya di muka bumi ini. Dari pandangan Islam, hanya pekerjaan yang
baik serta amal saleh sajalah yang mendapatkan pahala. Sedangkan tindakan yang
buruk, jahat, harus dihindari oleh setiap pribadi muslim. Al-Qur’an penuh
dengan ayat-ayat yang berisi pujian Allah terhadap pekerjaan yang “baik” (amal
saleh), dan tersedianya ganjaran baik di dunia ataupun di akhirat bagi mereka
yang bekerja dengan dilandasi iman.
Manusia adalah makhluk
cerdas yang dapat memanfaatkan bakat serta kecerdasannya untuk mengembangkan
kehidupannya di atas muka bumi, dan membuatnya lebih sejahtera. Islam mendorong
(pemeluknya untuk melakukan) inovasi di dalam segala lapangan teknologi. Tetapi
Islam juga melarang inovasi yang dilakukan dalam masalah agama dan kerohanian.
Tuhan menciptakan
manusia agar mereka menyembah-Nya; dan tunduk patuh kepada-Nya. Walaupun
manusia adalah khalifah Tuhan, hal ini tidak boleh menimbulkan kesombongan di
hati manusia, karena sebenarnya tugas manusia yang terpenting adalah mengabdi
kepada-Nya dan menjadi wakil-Nya yang baik di muka bumi.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy,
1979, Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan
Bintang.
Al-Buraey, Muhammad, A., 1985, Islam
Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, Jakarta: CV Rajawali.
An-Nahlawi, Abdurrahman, 1996,
Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam Dalam Keluarga, di Sekolah dan di
Masyarakat, Bandung: CV Diponegoro.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2003, Prospek
Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit Lantabora Press.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Islam
Dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta: Penerbit Lantabora Press.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Islam dan
Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Penerbit Lantabora Press.
Kartono, Kartini, 1992, Pengantar Ilmu
Pendidik Teoritis, Bandung: Penerbit CV Mandar Maju.
Mahzar, Armahedi, 1993, Islam Masa
Depan, Bandung: Penerbit Pustaka.
Musa, Yusuf, 1988, Al-Qur’an dan
Filsafat, Jakarta: PT Bulan Bintang.
Muthahhari, Murtadha, 1992, Perspektif
Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama, Bandung: Penerbit Mizan.